Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi Busuk dan Pengangguran Politik

Kompas.com - 18/01/2013, 19:21 WIB
Sidik Pramono

Penulis

KOMPAS.com - Pemilihan umum adalah saluran paling konstitusional bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Namun, ketika uang sangat berkuasa, popularitas kerap menjadi penentu dan masyarakat pun kerap terlenakan oleh pandangan jangka pendek. Saat itulah terbuka peluang politisi yang sebenarnya tak layak.

Nyaris setiap menjelang pemilu, kampanye antipolitisi busuk mengemuka. Harapannya, tentu saja agar rakyat pemilih tak membiarkan politikus yang tak bermutu kembali menguasai jabatan publik. Menjelang Pemilu 2004, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir gerakan antipolitikus busuk. Politikus jenis itu adalah kebalikan dari politikus yang amanah, yakni politikus yang tidak pernah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tak pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta tak terlibat narkotika.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada 2013 berencana memublikasikan rapor anggota DPR yang bisa menjadi acuan penilaian kinerja para wakil rakyat. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan isu antipolitikus busuk ini akan mewarnai sekitar setahun ke depan.

Gerakan memangkas politikus busuk tidak mudah dan jelas tak bisa sembarangan. Data yang digunakan mesti sahih, dengan variabel yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Itupun bukan jaminan bebas masalah. Pelabelan politikus bermasalah, kemudian mengampanyekannya, rawan digugat dengan delik pencemaran nama baik. Jika data yang dipakai keliru, konsekuensinya bisa lebih panjang lagi.

Tak semua politikus bisa berlapang dada seperti AM Fatwa. Menjelang Pemilu 2004, sejumlah organisasi non-pemerintah pernah mendeklarasikan Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk. Namun, sempat ada masalah ketika ICW keliru menyebut politikus Partai Amanat Nasional tersebut sebagai salah seorang anggota DPR yang terlibat korupsi. Fatwa mengadukan ICW ke Polda Metro Jaya. Kasus ini berhenti setelah ICW mengaku keliru dan meminta maaf (Kompas, 30 Juni 2005).

Formappi tampaknya akan melebarkan definisi politikus busuk. Mengutip Koordinator Formappi Sebastian Salang, politikus busuk termasuk juga anggota legislatif yang malas menghadiri sidang dan turun ke daerah pemilihan serta yang tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat konstituen (Kompas, 3 Januari 2013).

Terkait dengan kinerja politikus, sosiolog Ignas Kleden menyebut istilah pengangguran politik (Masyarakat dan Negara, 2004). Pengangguran politik terjadi karena tingkah laku politik yang tidak produktif dan malahan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan di masyarakat. Menurut Kleden, faktor pengangguran politik lebih disebabkan oleh kualifikasi para politikus yang menduduki posisi penting bukan karena keterampilan dan kompetensi, melainkan lebih karena dukungan kuat dari konstituen politik yang mereka wakili.

Direktur Pusat Studi dan Kajian Hukum Indonesia Ronald Rofiandri berpendapat, politikus seharusnya bukan penganggur. Bahkan, ketika mau total, mereka dengan sendirinya akan kewalahan dengan kompleksitas aspirasi dan suara.

Setiap politikus punya keterampilan dan kompetensi yang bisa diukur. Tinggal bagaimana konstituen menentukan kepada siapa mereka akan menyerahkan kepercayaan. Jika sudah begitu, akankah politikus busuk dan/atau penganggur politik masih mendapat tempat pada Pemilu 2014?

Selengkapnya, ikuti di topik pilihan:
GELIAT POLITIK JELANG 2014

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

    Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

    Nasional
    Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

    Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

    Nasional
    ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

    ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

    Nasional
    Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

    Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

    Nasional
    PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

    PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

    Nasional
    SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

    SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

    Nasional
    Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

    Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

    Nasional
    Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

    Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

    Nasional
    Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

    Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

    Nasional
    Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

    Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

    Nasional
    Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

    Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

    Nasional
    Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

    Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

    Nasional
    Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

    Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

    Nasional
    Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

    Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

    Nasional
    26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

    26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com