JAKARTA,KOMPAS.com — Pengajar komunikasi politik dari Universitas Hasanuddin, Dr Hasrullah, menilai pernyataan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi bahwa perseteruan KPK dan Polri dibesar-besarkan media tertentu adalah tuduhan yang tidak berdasar. Sebagai pejabat teras di negara yang berproses menuju demokratisasi, Sudi harus belajar dulu hakikat demokrasi, di mana media wajib mengontrol kinerja lembaga-lembaga negara dan pemerintahan.
"Sudi yang dekat dengan Presiden SBY itu rupanya masih gandrung memutar lagu lama. Ini perkelitan yang tidak bermutu di era keterbukaan. Itulah gaya pejabat di negara otoriter yang kerap panik jika timbul berita kritis soal kinerja pemerintah," ujar Hasrullah saat menghubungi Kompas dari Makassar, Sulsel, Senin (8/10/2012) siang.
Lulusan Universitas Indonesia itu mengingatkan, dalam era demokratisasi, sorotan media massa terhadap kinerja pemerintah hendaknya dijawab dengan kinerja yang baik. Sudah bukan zamannya, pejabat pemerintah membantah pemberitaan media massa dengan menuding balik media massa sebagai membesar-besarkan fakta dan opini.
"Kalau saja pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY, sigap dan tangkas menengahi konflik kedua lembaga tersebut, niscaya masalahnya tidak serunyam ini. Masyarakat melihat dengan kasat mata proses dan fakta yang terus melemahkan KPK. Masyarakat tidaklah sebodoh yang dikira," katanya.
"Sebaliknya, jika pemimpin negara ini lembek dan lamban menengahi masalah yang pelik ini, maka jangan salahkan jika eskalasi fakta dan opini publik terus menanjak," papar Hasrullah.
Ia justru menuding Sudi sebagai pejabat negara yang tidak sensitif akan aspirasi publik. Sudi terkesan memandang proses pelemahan KPK dengan sejumlah manuver dari petinggi Polri sebagai sesuatu yang tidak serius.
Sebagai pejabat teras yang amat menentukan agenda kerja Presiden, mestinya Sudi mendorong SBY untuk lebih sigap tanpa bertumpu pada laporan "asal bapak senang" (ABS) semata. Lagi pula, lanjut Hasrullah, secara terang benderang masyarakat sudah sangat sadar akan pentingnya pemberantasan korupsi. Apa yang diinginkan publik sejalan dengan agenda media, yakni mengawal kinerja pemerintah, penegak hukum, dan lembaga legislasi.
"Netralitas dan obyektivitas media bersifat abadi. Presiden SBY punya batas jabatan. Demikian pula Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad. Sementara media sama sekali tidak punya masa batas peran untuk terus menyampaikan fakta kepada masyarakat. Jadi, tidak ada alasan untuk menuding media menjalankan misi yang tidak obyektif. Pemberitaan media soal KPK versus Polri sama sekali tidak ada urusan dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pemberitaan media adalah cerminan dinamika publik," tutur Hasrullah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.