Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hartati Menolak Ditahan pada "Jumat Keramat"

Kompas.com - 30/08/2012, 20:27 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan pemberian suap Buol, Hartati Murdaya Poo, menolak ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hartati melalui pengacaranya, Patra M Zein, mengirimkan ke KPK surat permohonan agar tidak ditahan.

"Makannya kami ajukan surat permohonan untuk tidak ditahan, suratnya sudah masuk," kata Patra di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, seusai mengantarkan surat permohonan tersebut, Kamis (30/8/2012).

Menurut Patra, kliennya sudah menerima surat panggilan pemeriksaan KPK. Dalam surat tersebut, Hartati akan diperiksa pada Jumat 7 September 2012.

Adapun hari Jumat dianggap hari keramat di KPK. Pada hari itu, KPK biasa menahan para tersangka korupsi seusai pemeriksaan perdananya. Jumat 7 September 2012 nanti, akan menjadi hari pemeriksaan perdana Hartati.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, belum pasti KPK akan langsung menahan Hartati seusai diperiksa Jumat pekan depan, meskipun kemungkinan penahanan itu tetap ada.

Sementara menurut Patra, kliennya tidak layak ditahan. Ada tiga alasan hukum yang menjadi dasar mengapa Hartati tidak perlu ditahan. Pertama, katanya, Hartati kooperatif menjalani proses hukum di KPK selama ini.

"Dari sisi hukumnya, Pasal 21 KUHAP, kondisi yang menimbulkan kekhawatiran harus ditahan itu tidak ada, menghilangkan barang bukti, itu sudah disita, melarikan diri, dia sudah dicegah, tidak bekerja sama, itu tidak, Ibu kooperatif. Mengulangi perbuatan yang disangkakan itu juga tidak mungkin," ungkap Patra.

Alasan kedua, katanya, dilihat dari sisi hak asasi manusia. Menurut Patra, penahanan yang dilakukan sebelum putusan pengadilan berkekuatan tetap, dapat tergolong perampasan kemerdekaan.

"Saya percaya pimpinan KPK memahami prinsip ini. Saya berharap pandangannya tidak berubah," ucapnya.

Alasan ketiga, lanjut Patra, didasari pertimbangan aspek sosial kemanusiaan. Dia menilai Hartati tidak layak ditahan mengingat sudah berusia lanjut.

Selain itu, katanya, Hartati yang menjabat Presiden Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan PT Cipta Cakra Murdaya itu bertanggung jawab atas hajat hidup 50.000 karyawannya.

"Di samping itu, HMP (Hartati Murdaya) juga aktif memberi bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, dan figur pemersatu Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia)," tambah Patra.

KPK menetapkan Hartati sebagai tersangka karena diduga menyuap Bupati Buol Amran Batalipu. Pemberian suap diduga berkaitan dengan kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit perusahaan Hartati di Kecamatan Bukal, Kabupaten Buol.

Selain Hartati, KPK juga menetapkan Amran dan dua anak buah Hartati, yakni Yani Anshori dan Gondo Sudjono, sebagai tersangka. KPK sudah menahan Amran, Yani, dan Gondho lebih dulu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

    Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

    Nasional
    Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

    Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

    Nasional
    Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

    Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

    Nasional
    Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

    Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

    Nasional
    Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

    Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

    Nasional
    UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

    UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

    Nasional
    Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

    Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

    Nasional
    Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

    Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

    Nasional
    Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

    Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

    Nasional
    Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

    Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

    Nasional
    Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

    Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

    Nasional
    Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

    Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

    Nasional
    Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

    Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

    Nasional
    Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

    Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

    Nasional
    Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

    Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com