Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Idul Fitri, NU dan Anshor Lebih Baik Minta Maaf pada Korban 65

Kompas.com - 20/08/2012, 16:19 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Momentum perayaan hari raya Idul Fitri 1433 Hijriah selayaknya dimaknai oleh Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) dan Gerakan Pemuda (GP) Anshor untuk menarik penolakan permintaan maaf pada korban tragedi kemanusiaan 1965-1966. PBNU dan GP Anshor seharusnya meneladani ajaran almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tokoh penting NU dan Anshor, yang mengamalkan nilai-nilai kebajikan Islam yaitu meminta maaf pada korban tragedi tersebut.

Almarhum Abdurrahman Wahid sendiri telah menegaskan sikap PBNU serta diperkuat oleh Muktamar Lirboyo di tahun 1999 yang intinya meminta maaf pada korban tragedi 1965.

"Penolakan permintaan maaf yang dilakukan pemerintah pada korban yang disampaikan (PBNU) tempo hari lampau itu tidak tepat. Apalagi hal itu (penolakan permintaan maaf) disampaikan berbarengan dengan kehadiran kelompok terutama beberapa orang dari PPAD yang mendatangi kantor PBNU. Cara PBNU tersebut (deklarasi penolakan permintaan maaf pada korban 1965) yang tidak berdasarkan muktamar NU menurut saya sama sekali tidak elok," ujar Usman Hamid, aktivis change.org dan mantan Koordinator KontraS saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (20/8/2012).

Usman menyesalkan penolakan permintaan maaf PBNU, ormas Pancasilais dan persatuan purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) yang disampaikan pada rakyat Indonesia selang beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri, hari umat muslim saling bermaafan dan merajut perdamaian serta kemanusiaan.

Dia menjelaskan, deklarasi yang dikomandani PBNU dan GP Anshor yang menolak pengakuan dan pernyataan maaf pada korban 1965-1966, selain tidak tepat dalam memahami arah laporan dan rekomendasi Komnas HAM, juga kurang mencerminkan nilai-nilai kebajikan Islam dalam Nahdlatul Ulama.

Dia menerangkan perlunya bentuk pemahaman yang jujur dan benar terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM. Dia melanjutkan, yang pertama dari pemahaman tersebut adalah soal perspektif. Mengingat karena yang digunakan adalah perspektif hukum hak asasi manusia, tandasnya, maka Komnas HAM mengarahkan rekomendasinya tentang peristiwa 1965 ke negara, termasuk pemerintah berkuasa.

Pada perspektif itu, negara berkewajiban untuk mengusut pelaku, memulihkan martabat warga tak bersalah yang turut menjadi korban atau disewenang-wenangkan oleh Komando Operasi Pemulihan, Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang bekerja sama dengan ormas keagamaan dan pemuda.

"Yang terpenting dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang direkomendasikan ke pemerintah adalah menciptakan sistem yang kelak tak akan memungkinkan kejadian (kejahatan kemanusiaan 1965-1966) terjadi lagi," tambahnya.

Selanjutnya, dia menjelaskan, perspektif pengakuan dan permintaan maaf pada korban yang khusus ditujukan ke negara. Tujuan dari hal itu untuk mendamaikan korban dari sistem politik yang memproduksi dan membenarkan kekerasan serta pelanggaran HAM sistematis dan meluas seperti yang terjadi di tahun 1965-1966.

Dia mengakui, dalam Islam ditegaskan bahwa manusia wajib menghargai nyawanya. Islam, tegasnya, mengajarkan membunuh seorang manusia sama halnya dengan membunuh semua manusia, menyelamatkan seorang manusia juga sama dengan menyelamatkan semua manusia.

"Di luar itu, umat Islam yang beriman diwajibkan untuk menengok masa lalu dan menegakkan hukum yang adil. Sekalipun kerabat atau keluarga membuat kesalahan maka harus mengakui kesalahan. Menghapus dosa dengan suatu maaf dan beriktiar untuk mencegah terulangnya suatu kejahatan. Inilah nilai-nilai kebajikan Islam yg dipancarkan oleh ajaran-ajaran Abdurrahman Wahid," tegas Usman.

Sebelumnya, PBNU dan GP Anshor dengan didukung kalangan purnawirawan TNI Angkatan Darat dan ormas menolak keras segala bentuk permintaan maaf dari pemerintah/Presiden Republik Indonesia terhadap korban tragedi 1965-1966.

"Kami (PBNU) menolak permintaan maaf SBY kepada korban tragedi 65. Menurut kami, yang harus didorong adalah rekonsiliasi bukan meminta maaf," ujar As'ad Said Ali, Wakil Sekjen PBNU dalam deklarasi "Mewaspadai Kebangkitan PKI" di kantor pusat PBNU Salemba, Jakarta, Rabu (15/8/2012) silam.

Ali mengungkapkan, sebagai bangsa lebih baik jika peristiwa tragedi kemanusiaan 1965-1966 dilupakan. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, lanjutnya, sudah memberikan tempat untuk memulihkan hak keturunan PKI sehingga permintaan maaf pemerintah pada korban tragedi 1965-1966 dipandang tidak perlu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com