Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Janji Gunung Emas

Kompas.com - 12/06/2012, 06:38 WIB

SUKARDI RINAKIT, Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Beberapa hari terakhir ini saya teringat orang muda bijaksana dari Kebumen, Romo Jatmiko, putra tokoh yang bekerja di belakang layar era revolusi, Romo Yudho. Dia mengatakan kepada penulis, akan lebih sempurna jika empat pilar yang sekarang disosialisasikan sepenuh hati oleh Taufiq Kiemas dan teman-teman Majelis Permusyawaratan Rakyat ditambah satu pilar lagi, yaitu bendera Merah Putih.

Mungkin romo muda itu benar. Beberapa teman ketika naik taksi di luar negeri sering kali malu mengaku orang Indonesia. Mereka selalu menyebut negara lain sebagai asal mereka. Entah karena malu dianggap berasal dari negara miskin, korup, sepak bolanya kalah melulu, atau sarang teroris. Dengan memasukkan bendera Merah Putih sebagai pilar kelima, kita berharap siapa pun bangga sebagai bangsa Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berharap pada 2014 akan lahir pemimpin nasional yang tidak hanya mahir berjanji gunung emas (sekadar janji manis), tetapi juga mempunyai ketegasan kepemimpinan dan sepenuh hati memanggul lima pilar kita: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan Merah Putih.

Masyarakat melodramatik

Mencermati beberapa hasil survei terakhir tampak bahwa nama-nama yang muncul dan menjadi pilihan publik untuk Pemilu 2014 secara umum tidak bergeser dari figur-figur yang selama ini sudah beredar. Sebagian orang pesimistis melihat fenomena itu. Saya lebih suka menempatkan diri di sisi optimistis. Dengan satu keyakinan, setiap orang bisa berubah dan menjadi garuda demi bangsa dan negara.

Menariknya, nama-nama yang menjadi pilihan publik untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden pada pemilu nanti adalah para tokoh yang selama ini dipersepsikan mempunyai ketegasan sikap dan jujur. Untuk calon presiden, popularitas direngkuh oleh Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla. Untuk calon wakil presiden muncul Jusuf Kalla, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Hatta Rajasa, dan Surya Paloh.

Kecenderungan itu membuktikan, seperti sudah saya sampaikan hampir satu dasawarsa lalu, karakter bangsa ini adalah melodramatik. Ciri utamanya adalah mudah kasihan, mudah bosan, dan mudah lupa. Khusus karakter mudah bosan, ditandai dengan gerak bandul preferensi masyarakat yang selalu ekstrem.

Bosan dengan Bung Karno yang orator, masyarakat memilih Pak Harto yang pendiam dan bekerja. Karena ia bekerja terlalu keras sehingga menjadi eksektif (otoriter), rakyat bermimpi tentang pemimpin yang demokratis. Abdurrahman Wahid, seorang demokrat sejati, akhirnya menjadi pilihan. Ketika Gus Dur dianggap terlalu banyak bicara, harapan lahirnya pemimpin yang sedikit bicara menyeruak. Megawati Soekarnoputri akhirnya menjadi tumpuan.

Megawati yang hemat bicara jika tidak menyangkut hal-hal penting dan mendasar akhirnya dipersepsikan kurang cerdas. Padahal, secara rasional, jika tanpa kecerdasan, mustahil Mega mampu menjaga soliditas PDI- P sampai sekarang. Namun, persepsi publik telanjur menebar. Mimpi tentang pemimpin yang cerdas tak bisa dibendung. Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya terpilih menjadi Presiden. Sekali lagi, bandul bergerak ekstrem. Publik kecewa dengan SBY karena meski pandai, SBY dianggap miskin ketegasan.

Karakter melodramatik tersebut boleh dinilai, baik maupun buruk, tergantung dari paradigma penilai. Dari sudut baik, karakter itu menandakan bahwa rakyat tidak pernah berhenti berharap. Mereka tidak pernah berputus asa. Jika pada akhirnya mereka mendapatkan pemimpin yang tidak sesuai harapan, mimpi baru mereka bangun. Ratu Adil mereka kreasi di alam bawah sadar. Sikap ini melahirkan spirit ”sabar-subur”. Siapa yang sabar, di ujung perjalanan akhirnya akan mendapatkan limpahan rahmat.

Dari perspektif negatif, karakter melodramatik dianggap sebagai sikap tidak konsisten dan lemah. Rakyat mudah dibohongi oleh siapa pun yang mampu memanipulasi mereka dengan komunikasi politik dan pendekatan budaya politik yang tepat. Rakyat mudah dijadikan alat politik oleh siapa pun yang mahir berjanji gunung emas dan mempunyai sumber daya politik memadai.

Kuatnya karakter melodramatik pada bangsa Indonesia secara hipotesis disebabkan oleh rendahnya pendidikan masyarakat. Selain itu, diduga juga dipengaruhi sejarah kampung. Dominasi masyarakat tempo dulu yang hidup di pedesaan dan menjadi petani padi sikap hidupnya cenderung siklis, jam karet, mengikuti ketidakmenentuan secara relatif datangnya musim. Tidak mengherankan jika sikap mereka cenderung mudah berubah tergantung siapa yang bisa ”mendonder” alam bawah sadar mereka dengan janji-janji gunung emas.

Menyimak figur-figur yang muncul sebagai calon pemegang kendali republik, meski tidak sepenuhnya sesuai harapan karena beberapa kelemahan yang melekat pada mereka, saya percaya bahwa mereka bukanlah ahli janji gunung emas. Ini era animum fortuna sequitur (keberuntungan mengikuti keberanian).

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Tingkatkan Kapasitas SDM Kelautan dan Perikanan ASEAN, Kementerian KP Inisiasi Program Voga

Nasional
9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

9 Eks Komisioner KPK Surati Presiden, Minta Jokowi Tak Pilih Pansel Problematik

Nasional
Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Tak Undang Jokowi di Rakernas, PDI-P Pertegas Posisinya Menjadi Oposisi

Nasional
Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Bea Cukai: Pemerintah Sepakati Perubahan Kebijakan dan Pengaturan Barang Impor

Nasional
Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Setelah Mahasiswa, DPR Buka Pintu untuk Perguruan Tinggi yang Ingin Adukan Persoalan UKT

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pengamat: Hubungan Sudah “Game Over”

Nasional
Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Jokowi Tak Diundang Rakernas PDI-P, Pengamat: Sulit Disatukan Kembali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com