Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Miskinkan Koruptor

Kompas.com - 19/02/2012, 06:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Koruptor seharusnya divonis hukuman berat, seperti teroris, bahkan hukuman mati, seperti di China. Namun, sebetulnya koruptor lebih takut jika hukumannya berupa pemiskinan terhadap diri dan keluarganya. Sebab, hukuman badan ternyata tak memberikan efek jera.

Nyata, meski banyak sekali koruptor yang masuk penjara, korupsi tetap jalan terus. Belum lagi masa hukuman penjara bagi koruptor cenderung lebih ringan dan tak sebanding dengan jumlah kekayaan yang dicuri. ”Karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik lebih banyak tipologinya karena serakah. Jadi, memiskinkan koruptor merupakan sarana ampuh. Tesisnya, koruptor lebih takut miskin daripada dipenjara,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, di Jakarta, Sabtu (18/2/2012).

Hukuman badan memang dianggap tak sebanding dengan perbuatan koruptor. Dalam kasus suap pemilihan deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia, misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima suap rata-rata dihukum satu tahun hingga dua tahun penjara. Mereka menerima uang suap dalam bentuk cek perjalanan senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Vonis majelis hakim tak meminta agar terpidana penerima suap pemilihan DGS BI mengembalikan uang yang telah mereka terima.

Menurut Donal, cara memiskinkan koruptor bisa dengan mengejar semua aset yang berhubungan dengan kejahatan korupsinya. ”Prinsipnya follow the money, ikuti ke mana uangnya, dengan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang karena hampir semua tindak pidana korupsi itu ada unsur pencucian uangnya. Menyimpan di bank pun sudah tergolong pencucian uang,” katanya.

Febri Diansyah juga dari ICW mengatakan, pemiskinan menjadi cara efektif agar ada efek jera bagi koruptor. Majelis hakim harus berani meminta setiap orang yang terbukti korupsi membuktikan sebaliknya harta kekayaannya. ”Sehingga kekayaan yang berasal dari penghasilan tidak sah, baik terkait korupsi yang sedang diproses atau kejahatan lain yang belum terungkap, harus dirampas negara,” katanya.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset.

”Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sekarang baru mengatur pembuktian terbalik setengah hati. Memang kita bisa memaksimalkan penerapan UU Pencucian Uang karena ada aturan yang mewajibkan terdakwa membuktikan perolehan hartanya bukan berasal dari kejahatan,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Serikat Pejuang Anti Korupsi (Sepak) Priyanto dalam deklarasi pendirian Sepak, Sabtu, mengatakan, hukuman koruptor seharusnya hukuman berat seperti teroris, bahkan sebagian semestinya dihukum mati seperti di China.

”Sampai tahun 2007, Pemerintah China telah menghukum mati 4.800 pejabat negara yang terlibat korupsi,” kata Priyanto.

Sementara di Indonesia, vonis maksimal adalah 10 tahun penjara. Realitanya, para koruptor rata-rata hanya dihukum empat tahun penjara, bahkan banyak yang dua tahun saja,” katanya.

Korupsi dinilai sudah mewabah dan penegakan hukum juga ditunggangi kepentingan politik. Ada beberapa kasus besar yang melibatkan politikus tetapi belum diselesaikan KPK. (BIL/EDN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

    Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

    Nasional
    Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

    Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

    Nasional
    Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

    Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

    Nasional
    Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

    Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

    Nasional
    PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

    PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

    Nasional
    KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

    KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

    Nasional
    Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

    Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

    Nasional
    Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

    Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

    Nasional
    Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

    Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

    Nasional
    Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

    Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

    Nasional
    Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

    Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

    Nasional
    Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

    Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

    Nasional
    Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

    Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

    Nasional
    Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

    Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

    Nasional
    KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

    KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com