Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sanksi Bertingkat Penyelenggara Pemilu

Kompas.com - 20/07/2010, 15:47 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sanksi bagi penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran etika dinilai tak tegas diatur dalam UU. Ketua Dewan Kehormatan (DK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar DPR mempertimbangkan untuk merevisi UU Pemilu, khususnya mengenai sanksi bagi penyelenggara pemilu.

Berdasarkan pengalamannya melakukan studi banding ke Amerika Serikat, ada sanksi bertingkat bagi penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran, mulai dari sanksi ringan hingga yang paling berat.

Dijelaskan Jimly, sanksi ringan berupa teguran pribadi. "Ada surat teguran ditujukan secara pribadi kepada yang bersangkutan," kata Jimly, Selasa (20/7/2010), dalam rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta.

Di atasnya, sanksi yang lebih berat yaitu penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran diumumkan secara terbuka ke pers dan seluruh anggota Senat. "Itu malunya tujuh keliling, kalau sampai diumumkan terbuka," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Untuk menuju pemberhentian tetap, masih ada tingkatan sanksi pemberhentian sementara. Setelah itu, sanksi yang lebih berat lagi adalah pemberhentian tetap. Sanksi yang paling berat adalah pemberhentian dengan tidak hormat.

Dalam UU Penyelenggara Pemilu di Indonesia, hanya ada dua sanksi, yaitu pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Preseden anggota KPU, Andi Nurpati, yang melompat ke Partai Demokrat dinilai menjadi preseden buruk akan penegakan etika di lembaga penyelenggara pemilu.

Menurut Jimly, sistem etika perlu dibangun dengan kuat untuk menjaga independensi KPU. "Penting sekali untuk menjaga lembaga KPU dipercaya terus. KPU itu lembaga independen, netral, maka tidak boleh menjadi anggota parpol dalam lima tahun terakhir. Kita perlu terus mentradisikan sistem kode etik dan harus terus diperbaiki," ujar Jimly.

Komposisi DK

Selain mengenai sanksi, Jimly juga mengusulkan agar dalam revisi UU memformat ulang komposisi DK KPU. Menurutnya, komposisi DK KPU lebih banyak diisi oleh orang-orang yang berasal dari luar KPU.

Saat ini, komposisi DK KPU terdiri dari dua orang dari luar KPU dan tiga anggota KPU. "Kalau dari luar KPU lebih banyak akan meningkatkan independensi dan pengawasan lebih efektif," kata Jimly.

Format pemeriksaan juga dikatakan Jimly perlu direvisi, di antaranya menyangkut hukum acara pemeriksaan. Usulannya, ada bentuk pemeriksaan secara etika materiil dan etika formal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kentalnya Aroma Politik di Balik Wacana Penambahan Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran

Kentalnya Aroma Politik di Balik Wacana Penambahan Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Pejabat Kementan Patungan untuk Gaji Pembantu SYL di Makassar Rp 35 Juta

Pejabat Kementan Patungan untuk Gaji Pembantu SYL di Makassar Rp 35 Juta

Nasional
Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Panglima TNI Perintahkan Pengamanan Pilkada Harus Serius karena Ancaman dan Risiko Lebih Besar

Nasional
Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Hari Pertama Penyerahan Dukungan, Mayoritas Provinsi Nihil Cagub Independen

Nasional
Hakim MK Sebut Sirekap Bikin Kacau Penghitungan Suara, Minta KPU Perbaiki

Hakim MK Sebut Sirekap Bikin Kacau Penghitungan Suara, Minta KPU Perbaiki

Nasional
Hakim PN Jaksel Tolak Praperadilan Karutan KPK, Status Tersangka Pungli Tetap Sah

Hakim PN Jaksel Tolak Praperadilan Karutan KPK, Status Tersangka Pungli Tetap Sah

Nasional
PAN Cabut Gugatan soal PPP Dapat Suara 'Gaib' di Bengkulu

PAN Cabut Gugatan soal PPP Dapat Suara "Gaib" di Bengkulu

Nasional
Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, KIP: Merupakan Informasi Terbuka

Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, KIP: Merupakan Informasi Terbuka

Nasional
WTP Kementan Terganjal “Food Estate”, Auditor BPK Minta Uang Pelicin Rp 12 Miliar

WTP Kementan Terganjal “Food Estate”, Auditor BPK Minta Uang Pelicin Rp 12 Miliar

Nasional
Jokowi: Pemerintah Bangun Sumur Pompa Antisipasi Dampak Kemarau

Jokowi: Pemerintah Bangun Sumur Pompa Antisipasi Dampak Kemarau

Nasional
Bawaslu Ungkap Suara Caleg Demokrat di Aceh Timur Sempat Naik 7 Kali Lipat, lalu Dihitung Ulang

Bawaslu Ungkap Suara Caleg Demokrat di Aceh Timur Sempat Naik 7 Kali Lipat, lalu Dihitung Ulang

Nasional
Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Nasional
Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Nasional
Risma Ingatkan Kepala Dinsos Se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Risma Ingatkan Kepala Dinsos Se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Nasional
Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com