Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penindakan Korupsi Dikhawatirkan Kembali ke Bentuk Lama

Kompas.com - 30/10/2009, 22:31 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, merupakan upaya sistematis, terencana, dan masif untuk menggembosi KPK. Jika langkah KPK terus dijegal, dikhawatirkan penindakan kasus korupsi di Indonesia akan kembali pada bentuk-bentuk lama.

Demikian penuturan anggota Dewan Penasihat Aliansi Masyarakat Antikorupsi Surabaya yang juga pengajar ilmu hukum Universitas Airlangga Surabaya I Wayan Titip Sulaksana, Jumat (30/10) di Surabaya.  

"Alasan penahanan keduanya (Bibit dan Chandra) terlalu dicari-cari. Dugaan pemerasan tidak terbukti. Selain itu, penyalahgunaan jabatan yang dituduhkan yang seharusnya masuk dalam ranah pelanggaran administrasi justru dikrimininalkan," paparnya.

Menurut Wayan, dari sisi prestasi, kiprah KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi dinilai lebih berkualitas dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini terlihat dari sisi pengungkapan kasus, hasil putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tak pernah bebas murni, dan shock terapi para pelaku korupsi pascakehadiran KPK.

"Bila mendengar KPK akan datang, orang-orang di daerah langsung kaget dan berkeringat dingin. Tetapi jika yang datang orang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) reaksinya berbeda, lebih tenang," kata Wayan.

Dengan penahanan Bibit dan Chandra, menurut Wayan, upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi di Indonesia terancam kembali ke bentuk-bentuk penindakan lama yang lebih lunak dan kooperatif. Padahal, korupsi tergolong sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang membutuhkan penanganan khusus.

Wayan berharap, pengungkapan kasus-kasus korupsi melalui Pengadilan Tipikor juga diterapkan di daerah-daerah. Jika masalah korupsi hanya diselesaikan melalui pengadilan umum maka banyak kasus korupsi di daerah yang akan lolos.

Harus bisa buktikan

Sementara itu, pengajar hukum Universitas Airlangga Emanuel Sujatmoko mengatakan, unsur penyalahgunaan yang dituduhkan pihak Kepolisian pada Bibit dan Chandra harus dicermati, apakah masuk dalam aspek pidana atau perdata/administrasi.

Emanuel menyadari tiap warga negara memiliki kesamaan di hadapan hukum, termasuk para pimpinan KPK. Karena itu, setelah menahan dan menjadikan Bibit dan Chandra tersangka, Kepolisian harus bisa membuktikan tuduhan-tuduhan mereka.

"Jika di pengadilan tak terbukti, sama seperti para pimpinan KPK, para petinggi polisi juga harus berani mengundurkan diri. Pihak Kepolisian tampaknya sudah yakin betul jika KPK salah, padahal tuntutan mereka tak jelas," kata Emanuel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com