JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan menyebut, perkara penodaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama, sarat dengan muatan politik.
"Perkara Ahok merupakan perkara politik yang kemudian seolah-olah dibungkus sebagai perkara hukum," ujar Trimedya di Kantor Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Pusat PDI-P, Jakarta Pusat, Rabu (10/5/2017).
Hal itu nampak dari tekanan massa, baik ke polisi, kejaksaan hingga peradilan seiring proses perkara mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Masifnya gerakan-gerakan yang menyudutkan Ahok yang diwarnai dengan isu-isu yang tidak sehat merupakan bukti bahwa perkara Ahok lebih domain dengan perkara politik dibandingkan problematik yuridisnya," ujar Trimedya.
Putusan Ahok Dinilai Jadi Momentum Hapus Pasal Penodaan Agama
Di tengah tekanan politik, kata dia, akhirnya hakim mengabaikan prinsip-prinsip keadilan.
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok dengan hukuman dua tahun penjara. Vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum.
Padahal, Trimedya menilai, proses sidang tak bisa membuktikan Ahok berniat untuk menoda agama.
"Hal itu tergambar dari fakta persidangan. Baik keterangan ahli atau saksi fakta. Tidak ada niat Basuki untuk menistakan agama. Tapi rupanya, dengan asumsinya, hakim menyatakan lain," ujar Trimedya.
Yusril: Penahanan Ahok Bisa Ditangguhkan, asalkan...
Dalam tuntutannya, jaksa juga menyatakan, perkataan Ahok di Kepulauan Seribu tidak membuktikan bahwa dia menistakan agama.
Akan tetapi, majelis hakim memutuskan hal yang sebaliknya.
"Sungguh putusan itu suatu hal yang tidak adil dan mengabaikan prinsip keadilan sekaligus melanggar prinsip peradilan yang universal," ujar Trimedya.