JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, menilai efek politik identitas dalam kampanye mengikis nilai-nilai demokrasi.
Ia mengatakan, pemilu yang menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi seketika rusak kualitasnya dengan penggunaan politik identitas dalam kampanye.
"Pemilu, dalam terminologi demokrasi, yang sejatinya berbasis pada rasionalitas, seketika kehilangan rasionalitasnya karena politik identitas. Orang memilih bukan karena kinerja calon tapi karena identitas yang melekat seperti agama atau etnis," kata Syamsuddin saat ditemui di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
"Kinerja seorang calon menjadi tak ada harganya, tak ada apresiasi terhadap prestasi seseorang," lanjut dia.
(Baca: Penggunaan Politik Identitas Diprediksi Menguat hingga Pemilu 2019)
Ia melanjutkan, jika penggunaan politik identitas diteruskan pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, maka regenerasi kepemimpinan politik di Indonesia semakin menurun kualitasnya.
Syamsuddin menambahkan, penyebab utama merebaknya penggunaan politik identitas adalah abainya negara dalam mewujudkan nasionalisme yang berbasis kewarganegaraan.
"Saat ini yang menjadi basis nasionalisme kita justru nasionalisme komunal saja. Bahkan negara juga terkadang bersikap tak adil dalam menyikapi isu mayoritas dan minoritas seperti menyikapi kelompok minoritas seperti syiah, ahmadiyah," kata Syamsuddin.
"Semuanya harus diatasi dengan pendidikan politik yang rasional, politik kewargaan. Ini tantangan bagi demokrasi kita. Saya rasa kita semua sebagai civil society wajib mengawal demokrasi kita agar tak mengalami kemunduran," lanjut dia.