JAKARTA, KOMPAS com - Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti mengatakan, hakim konstitusi sedianya asosial atau membatasi diri dalam berelasi dengan pihak tertentu.
Sebab, hakim konstitusi harus mencerminkan sikap independen dan tidak terikat oleh pihak mana pun.
Namun, menurut Bivitri, masih ada hakim konstitusi yang hingga saat ini belum memahami hal tersebut.
"Saya masih liat hakim yang datang ke undangan, ke acara anak dari seseorang yang ayahnya tersandung kasus korupsi. Bahkan di acara itu memberikan sambutan," ujar Bivitri dalam diskusi bertajuk "Menimbang Seleksi Hakim MK: Masa Depan Penegakan HAM di Tangan Pengawal Konstitusi" yang digelar di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2017).
Selain itu, Bivitri juga mengataan bahwa masih ada hakim konstitusi yang datang ke asosisasi pengusaha.
"Padahal pengusaha itu jadi pihak yang beperkara. Ini contoh buruk," ucapnya.
Menurut Bivitri, hakim konstitusi merupakan seorang negarawan. Maka seorang hakim konstitusi harus mengemban tugasnya dengan baik.
Untuk menjadi seorang yang asosial pun, sedianya dilakukan. Hal ini guna menghindari persepsi negatif dan memberikan kepercayaan kepada publik bahwa sebagai hakim akan membela tanpa memihak pihak mana pun.
"Seorang hakim MK standarnya harus lebih tinggi dari manusia biasa karena harus memutuskan hal yang berdampak pada masyarakat Indonesia. Dan ini belum dimiliki hakim MK," kata dia.
Bivitri pun berharap, satu nama yang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai hakim konstitusi yang menggantikan Patrialis Akbar adalah sosok yang membawa perubahan positif pada MK.
"Harapan kami hakim MK yang diajukan dan dipilih Presiden membawa semangat perombakan," ujarnya.
Saat ini, panitia seleksi telah melaksanakan tahapan seleksi wawancara terhadap 11 calon hakim MK. Tiga nama calon hakim MK yang dinilai Pansel sebagai sosok kompeten telah dikirimkan ke Presiden Joko Widodo.
Nantinya, Jokowi memilih satu nama sebagai pengganti Patrialis Akbar, yang kini menjadi tahanan KPK karena diduga terlibat kasus suap.