Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras: Kejagung Ambisius Lakukan Eksekusi Mati, tapi Tak Ada Evaluasi

Kompas.com - 26/02/2017, 23:44 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan evaluasi pemerintah terkait penerapan kebijakan hukuman mati yang selama ini tidak pernah dilakukan.

Koordinator Kontras Yati Andriyani berpendapat bahwa pemerintah, melalui Kejaksaan Agung, seharusnya mengevaluasi proses penerapan eksekusi mati pada gelombang III lebih dulu sebelum merencanakan eksekusi jilid IV.

Pasalnya, Kontras menemukan berbagai kejanggalan berupa dugaan kecacatan proses hukum (unfair trial) pada penerapan eksekusi mati yang sudah berjalan.

"Sampai hari ini kami tidak pernah menemukan fakta atas upaya evaluasi dari eksekusi mati sebelumnya dari Kejaksaan Agung untuk melihat secara keseluruhan penerapan hukuman mati secara keseluruhan," ujar Yati dalam sebuah diskusi terkait penerapan hukuman mati, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (26/2/2017).

Yati menuturkan, berdasarkan hasil investigasi dan advokasi Kontras, sebagian besar terpidana mati yang telah dieksekusi mengalami unfair trial, mulai dari tahap penyidikan hingga persidangan.

Yati menilai, hukuman mati tidak layak diterapkan sebab masih ditemukan banyak pelanggaran dalam sistem peradilan di Indonesia, misalnya terkait integritas aparat penegak hukum dan aspek profesionalitas.

Dengan demikian, jika pemerintah terus memaksakan penerapan hukuman mati, maka evaluasi atas sistem pemidanaan harus dilakukan untuk memastikan apakah proses hukum terpidana mati sudah sesuai dengan undang-undang.

"Hukuman mati itu rentan kecerobohan dalam proses peradilannya. Saya melihat Kejaksaan Agung malah terkesan sangat ambisius untuk melakukan eksekusi, tapi di satu sisi tidak mau melihat ada kelemahan yang ada di sistem pemidanaan kita," ucapnya.

Kejanggalan eksekusi delapan terpidana mati

Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, Putri Kanesia, memaparkan kejanggalan pada proses penjatuhan vonis terpidana mati di gelombang II. Putri menyebut sepuluh orang terpidana mati gelombang II mengalami unfair trial.

"Meski yang dieksekusi delapan orang dari sepuluh daftar nama, tapi semuanya mengalami unfair trial," kata Putri.

Menurut Putri, terpidana mati yang mayoritas adalah warga negara asing (WNA) terlambat untuk mendapatkan bantuan penerjemah dan penasihat hukum. Contoh yang dialami Rodrigo Gularte misalnya.

Terpidana mati kasus narkoba asal Brazil itu baru mendapatkan fasilitas penerjemah menjelang pembacaan putusan. Ironisnya lagi, Gularte tetap dieksekusi meski seorang dokter kejiwaan dari Rumah Sakit Umum Cilacap menyatakan Gularte mengidap skizofrenia dan bipolar psikopatik.

Berdasarkan pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak bisa dijatuhi hukuman mati.

"Diagnosa itu muncul setelah delapan sesi pertemuan secara intens. Tapi kemudian jaksa membawa tim dokternya sendiri untuk memeriksa Gularte selama 30 menit dan mendiagnosa tidak mengalami gangguan jiwa," ujar Putri.

Kompas TV Inilah Terpidana Mati yang Belum Dieksekusi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Jokowi: Selamat Hari Buruh, Setiap Pekerja adalah Pahlawan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com