Apakah masyarakat pers Indonesia tidak tergugah diri menghadapi "tsunami informasi" klasifikasi menggelisahkan berbentuk gelombang hoax? Apa kontribusi insan pers Indonesia dalam menyatukan kembali kesatuan persatuan bangsa?
Pertanyaan semacam ini kerap penulis dengar, bahkan ditanyakan langsung dari kolega. Sebab, muncul kesan seolah-olah tiada upaya maksimal dalam berkontribusi atas persoalan segresi nasional yang terjadi sedikitnya enam bulan terakhir ini.
Jauh sebelum ramai gaduh belakangan ini, Dewan Pers mencatat hanya 234 perusahaan yang dikategorikan perusahaan pers profesional dari total 43.300 media daring.
Di sisi lain, sepanjang tahun 2015 lalu, Dewan Pers menerima 750 aduan dari publik terkait media massa (90% dari media massa utama) dengan pelapor terbesar dari masyarakat disusul birokrat dengan lokasi utama dari Jakarta, Jatim, dan Sumut.
Karena itulah, hemat penulis, diperlukan upaya kolektif atas pemahaman dan penguatan peran-fungsi konstitusional Dewan Pers (sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 UU Pers) dalam menegakkan kehormatan pers pada tahun ini secara bersama-sama.
Ada dua penjelasan empirik yang bisa penulis sodorkan sekaligus mematahkan skeptisme tadi. Pertama, jauh sebelum muncul gerakan moral melawan hoax semacam Turn Back Hoax dan sejenisnya, Dewan Pers sudah menyadari potensi ini sejak enam tahun lalu.
Dalam Hari Pers Nasional (HPN) 2010 di Palembang, sebagai output kegiatannya, ada Deklarasi Palembang 2010 berisikan empat peraturan Dewan Pers hasil ratifikasi sebagian besar pemilik media besar di Indonesia.
Empat peraturan itu yaitu standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar perlindungan profesi wartawan, dan standar kompetensi wartawan.
Di titik ini saja, pengaturan tentang media massa profesional yang produksi konten sesuai UU Pers No 40/1999 dan derivatifnya (Kode Etik Jurnalistik dan atau Pedoman Media Siber) sudah dipikirkan masyarakat pers sejak lama.
Implemetasinya yang intensif, dalam catatan penulis, selepas deklarasi adalah standar kompetensi wartawan melalui uji kompetensi wartawan (UKW) tiga tingkatan yakni muda, madya, dan utama dengan sertifikator langsung dari Dewan Pers.
Penulis yang pernah mengikuti UKW dua kali (madya dan utama) merasakan betul betapa ketatnya pelaksanaan ujian ini. Apalagi penguji dan metode ujian memang pakar pers berpengalaman, mereka wartawan senior Indonesia sekaliber Atal Depari, Marah Sakti Siregar, Hendry CH Bangun, Kamsul Hasan, dst.
Metode yang diberikan sepenuhnya menguji bagaimana para pekerja pers bekerja profesional dengan mengikuti kaidah UU Pers dan turunannya, sehingga bukan sekali dua kali ditemukan, banyak wartawan yang sudah lama bekerja pun tak lulus UKW tersebut.
Ada metode pengujian akhir yang cukup menantang ketika wartawan harus membuktikan seberapa aktif dan luasnya jejaring mereka di lapangan.
Mereka harus menelepon narasumber paling utama (VVIP), setelah itu penguji menanyakan bagaimana kredibilitas dan proses kerja kita saat peliputan. Sungguh proses ujian tak mudah, sepenuhnya obyektif, dan mengarusutamakan kode etik jurnalistik!
Dengan menggandeng sejumlah lembaga, baik pemerintahan, BUMN, hingga swasta, UKW banyak digelar di banyak tempat di tanah air. Terutama dengan menggandeng tiga organisasi pers yang diakui pemerintah: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).