Situasi yang dinanti-nantikan banyak kalangan ini tambah menggembirakan, manakala sejumlah media massa utama kala itu menggenapi dengan aturan kewajiban wartawan mengikuti UKW tersebut.
Bahkan sejumlah media utama menyertakan kewajiban kelulusan UKW untuk promosi jabatan redaksional.
Hasil UKW ini pula bisa diakses oleh masyarakat umum secara transparan dalam laman Dewan Pers (http://dewanpers.or.id/sertifikasi/kompetensi), sehingga proses check and balance antara publik dan masyarakat pers sudah dilakukan sejak lama --jauh sebelum ramai-ramai para pihak tak berwenang serampangan memutuskan wartawan dan media tergolong hoax atau tidak.
Sempat pula muncul wacana (meski tak mudah pula diterapkan di lapangan) bahwa wartawan yang tak masuk daftar hasil UKW tersebut --sebagaimana dokter profesional tak tersertifikasi di Dinas Kesehatan/Ikatan Dokter Indonesia-- maka publik bisa berlaku seperti pasien yang tak mau diwawancara atau diperiksa dokter gadungan.
Jadi, sekilas saja dipaparkan, adalah nyata invalid-nya jika masyarakat pers dinilai tak berkontribusi atas meluasnya hoax dan sejenisnya.
Bahkan, mungkin jauh sebelum dipikirkan para aktivis gerakan moral tadi, masyarakat pers sekalipun senyap, terus bergerak, berbenah, dan berbuat dalam menghadirkan produk pers profesional dan bermartabat.
Kedua, implementasi berikutnya setelah meretas gencarnya UKW periode 2012-2016 ini adalah terbitnya verifikasi media massa oleh Dewan Pers dalam bentuk logo khusus berisikan barcode yang bisa dipindai gawai.
Secara khusus, seperti banyak dipublikasikan media massa, hasil verifikasi akan diumumkan dalam puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Ambon, Provinsi Maluku pada 9 Februari nanti yang rencananya di hadapan Presiden Jokowi.
Jadi, media yang lolos verifikasi akan memperoleh logo yang akan disajikan pada media cetak dan online. Dan, publik siapapun yang memindai, kelak akan tersambung database Dewan Pers guna melihat penanggung jawab media itu siapa, alamatnya di mana, siapa saja wartawannya, apa bentuk perusahaannya, dst.
Masyarakat, terutama netizen, secara praktis akan mudah menemukan perbedaan antara media massa yang jelas dan media abal-abal, sehingga semua kita akan mudah memilah berita dari situs mana yang layak dibagikan kepada koleganya.
Dengan adanya standar praktik perusahaan pers ini, maka dengan sendirinya akan mengikis praktek-praktek penyimpangan informasi dan data secara jurnalistik yang banyak ditemukan belakangan ini terutama di media sosial hingga grup pesan instan.
Kita ketahui bersama, para penyebar hoax, rerata adalah entitas (baca: blog) yang menyamarkan identitasnya, tidak mau sebutkan kantornya dimana, bahkan besar kemungkinan wartawannya tidak faham UU Pers apalagi mau mengikuti UKW. Modus yang hampir senada dengan sejumlah akun personal di media sosial.
Dalam hal anonimitas entitas ini saja, secara legal, jelas sudah melanggar Pasal 12 UU Pers Tahun 1999 (Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan).
Ironisnya, banyak yang kemudian berusaha menyebut dirinya bagian pers ketika kemudian terjadi sengketa kode etik jurnalisme. Memenuhi aturan tak mau, namun jika ada masalah, kemudian mengaku pers dan cenderung berlindung di balik "ketiak" Dewan Pers.
Upaya verifikasi ini juga akan mensortir niat dan itikad baik sebuah media dalam memproduksi berita yang benar dan baik sesuai UU Pers. Sebab, semua jenis media wajib mendaftarkan diri ke Dewan Pers untuk selanjutnya diverifikasi terutama dari sisi konten.
Betul memang ada wacana verifikasi administrasi seperti kesiapan penggajian wartawan dst, namun prioritasnya tetap dari sisi produksi berita, apakah sesuai kaidah jurnalistik/tidak.
Nah, prasyarat-prasyarat ini secara simultan akan pula mengikis mereka, para produsen informasi yang mengaku sebagai pers, namun tidak/enggan diverifikasi karena memang secara sadar melanggar praktik jurnalisme dan menyalahi aneka aturan terkait. Kelak, kebenaran akan terpilah dan muncul tegas ke publik.
Maka itu: Jika benar, kenapa risih? Jika bersih, kenapa gundah? Jika sesuai UU Pers No 40/1999, juga telah melaksanakan seluruh aturan derivatifnya, dan terlebih seluruh proses bisa dilakukan secara daring (nirbiaya), mengapa susah mendaftarkan perusahaan ke Dewan Pers?
Bukankah seluruh proses ini justru kian meneguhkan media benar dan sendirinya akan menjadi pilihan utama masyarakat? Bukankah insan pers profesional pun selama ini dibuat risih dan gundah dengan mereka, dalam istilah Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo, sebagai kaum pencoleng kebebasan pers?! Mari tegakkan kehormatan pers Indonesia!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.