Pilgub DKI Jakarta dianggap sebagai babak awal perebutan kekuasaan yang sejatinya akan dilakukan pada tahun 2019 yang akan datang.
DKI Jakarta sebagai ibu kota negara merupakan titik kunci dalam konstelasi politik nasional. Bukan hanya karena jumlah pemilih yang padat di sana, tetapi juga karena keterlibatan seluruh instrumen politik nasional dalam dinamikanya.
Jakarta sebagai home town politik nasional menarik elite-elite politik nasional untuk turut serta dalam tarik-ulur manuver politik.
Meski terdapat 33 provinsi lain yang juga akan melaksanakan pemilihan kepala daerah, Jakarta merupakan ‘palagan’ yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap ‘ksatria’ politik yang akan mencoba ilmunya.
Keterlibatan seluruh instrumen politik dalam perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta dianggap mampu memberikan pelajaran baru dalam tren-tren manuver politik yang sedang diuji untuk menghadapi perhelatan politik akbar yang sesungguhnya pada tahun 2019 nanti.
Di Pilgub DKI Jakarta, komposisi koalisi parpol sedang diuji guna menemukan formulasi yang paling tepat. Kehadiran tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta ini secara tidak sengaja menujukan poros politik nasional yang terbagi pada tiga kekuatan besar.
Sebutlah Jokowi dengan rombongan PDI-P di bawah kendali Megawati, Prabowo yang merupakan rival presiden pada pilpres, dan SBY sebagai post power yang masih berusaha menggeliat mengambil porsi dalam peta kekuatan politik nasional.
Ketiga poros kekuatan tersebut beradu taring mengandalkan kekuatannya masing-masing dalam kontes Pilgub DKI Jakarta.
Pada awalnya Pilgub DKI Jakarta terlihat akan datar-datar saja. Ahok Sang Petahana yang tidak memiliki basis partai politik meramu metode komukasi politik pada masyarakat dengan membangun citra yang bersih, anti bandit korupsi, tegas (baca: temperamental), dan mampu menyelesaikan masalah Jakarta.
Hal tersebut membuat Ahok merasa di atas angin hingga berani “sompral” untuk berangkat menjadi gubernur tidak dari partai politk.
Dukungan yang mengalir deras dari masyarakat, terutama dari masyarakat internet, dikapitalisasi oleh partisan bernama “Teman Ahok” yang bergerilya mengumpulkan sejuta KTP DKI Jakarta yang dipersyaratkan untuk menjadi calon perseorangan.
Pada akhirnya setelah deklarasi sejuta KTP, tetap saja Ahok berangkat dengan PDI-P sebagai partai pengusung.
Rival politik tidak berdiam diri begitu saja. Katakanlah Yusril yang mencoba masuk gelanggang namun nampaknya sambutan penonton tidak begitu riuh.
Tidak berhenti di situ, Ahok terus diganggu dengan berbagai cara semisal protes atas penggusuran yang tidak manusiawi, kasus RS Sumber Waras, hingga kasus reklamasi Teluk Jakarta yang berhadapan dengan aktor sekelas Menko Rizal Ramli dan Menteri Susi.
Kasus demi kasus yang bermunculan untuk menumbangkan Ahok berhasil ditepis. Bahkan entah mengapa Rizal Ramli diberhentikan oleh Jokowi dari jabatannya pasca berseteru dengan Ahok.