JAKARTA, KOMPAS.com – Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia selama beberapa waktu terakhir, dinilai tak membuat aparat penegak hukum bertindak tegas untuk mengurangi kasus yang ada.
Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang justru tidak puas dengan hukuman yang dijatuhkan pengadilan.
Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Muhammad Rizaldi menuturkan, kebanyakan hukuman yang dijatuhkan hakim di bawah sepuluh tahun. Padahal, untuk kasus pemerkosaan saja, hukuman maksimalnya 12 tahun.
Sedangkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak hukuman maksimal 15 tahun.
“Kita membaca dari 280 putusan pengadilan yang kalau kita simpulkan itu rata-rata vonis 51 bulan,” kata Rizaldi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (9/10/2016).
Ia menilai, perlu adanya reformasi penegak hukum, khususnya bagi para hakim yang menangani kasus kekerasan seksual.
Sebab, tidak seluruh hakim memiliki pandangan yang sama di dalam memutus perkara.
“Ada yang hanya setahun, ada yang lebih dari itu,” kata dia.
Sementara itu, Direktur LBH APIK Jakarta, Ratna Batara Munti menilai, perbedaan putusan yang terjadi karena terjadinya bias pemahaman serta stereotip di masyarakat serta aparat penegak hukum.
Sebagai contoh, janji untuk menikahi korban atau riwayat seksual korban, seharusnya tidak bisa memengaruhi proses serta putusan yang akan dijatuhkan.
Korban yang dinikahi pelaku, sebenarnya telah mengalami viktimisasi lanjutan setelah dirinya mengalami kekerasan seksual oleh pelaku.
“Bias persepsi ini juga diamini oleh aparat penegak hukum dalam memproses perkara kekerasan seksual. Sehingga, pendamping korban kerap kali kesulitan untuk mendorong agar perkara masuk ke ranah pengadilan,” ujar Ratna.