Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uang Tak Sampai ke Kajati DKI, Perantara Suap Kasus Korupsi PT Brantas Merasa Dizalimi

Kompas.com - 26/08/2016, 16:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Terdakwa kasus percobaan suap PT Brantas Abipraya, Marudut Pakpahan, merasa dizalimi dengan tuntutan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia dituntut terkait kasus percobaan suap pada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang.

Hal ini diungkapkan Marudut lewat penasihat hukumnya dalam sidang pembacaan pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (26/8/2016).

Diketahui, dua petinggi PT Brantas Abipraya, yakni Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno, turut menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. Marudut menyatakan keberatan dengan keputusan JPU yang hanya menuntut Dandung selama 3,5 tahun penjara.

Tuntutan ini dianggap lebih ringan daripada tuntutan JPU yang ditujukan kepadanya, yakni 4 tahun penjara. Padahal, percobaan suap itu diketahui merupakan inisiatif dari Sudi dan Dandung.

(Baca: Ada Pesan yang Disampaikan Kajati DKI Sebelum Perantara Suap Ditangkap...)

"Benar terdakwa (Marudut) menerima uang dari saudara Dandung, tetapi tidak ada penyerahan kepada Kepala Kejati DKI. Terdakwa merasa dizalimi dengan tuntutan tersebut," kata Soesilo Aribowo, pengacara Marudut.

Soesilo menjelaskan, percobaan suap itu berawal dari keinginan PT Brantas Abipraya menghentikan penyelidikan yang sedang dilakukan kejaksaan.

Menurut dia, Marudut yang telah mengenal Kepala Kejati DKI Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu meminta bantuan terkait penyelidikan kasus tersebut.

Namun, rupanya bantuan yang dilakukan Sudung dan Tomo diartikan lain oleh petinggi PT Brantas Abipraya. Mereka beranggapan, bantuan itu dengan memberikan imbalan sebesar Rp 2,5 miliar.

(Baca: Kepala Kejati DKI Jakarta Lolos dari Perkara Suap PT Brantas Abipraya)

"Kalau memang kasus tersebut bisa dihentikan, tentu tujuan pemberian uang akan ke sana (Kepala Kejati DKI). Itu inisiasi dari Sudi dan Dandung," katanya.

"Hanya saja, saat itu tidak ada kesepakatan antara terdakwa dengan penerima," tambahnya.

Sidang pun ditunda dan dilanjutkan dengan agenda pembacaan putusan pada 2 September 2016 mendatang.

Kasus percobaan suap di Kejati DKI Jakarta bermula dengan operasi tangkap tangan pada April lalu. KPK menangkap Sudi, Dandung dan Marudut Pakpahan, seusai melakukan transaksi penyerahan uang di kawasan Jakarta Timur.

Lembaga antikorupsi itu menyita uang 148.835 dollar AS ketika operasi tangkap tangan dilakukan. (Wahyu Aji)

Kompas TV KPK Panggil Kajati DKI Jakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com