JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menegaskan bahwa pihaknya menolak rencana penghapusan syarat justice collaborator (JC) untuk pemberian remisi. Jika revisi tetap dibahas, KPK akan keluar dari pembahasan.
"Saya menyuruh Kepala Biro Hukum KPK di rapat itu, ya. Kalau kemudian tidak sepakat dengan saran kami, malah saya meminta, ya sudah, walk out saja dari rapat itu," ujar Agus usai upacara peringatan HUT ke-71 Republik Indonesia di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/8/2016).
Agus mengatakan, kapasitas yang berlebihan di lembaga pemasyarakatan tak bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk menghapus syarat JC. Agus mengaku telah mengirimkan surat penolakan kepada Kementerian Hukum dan HAM dengan tembusan ke Presiden Joko Widodo terkait penolakan itu.
"Kami kan belum bisa memberikan efek jera, kok malah dikurangi. Itu kan bukan konsep kita, bukan itu tujuannya," kata Agus.
(Baca: Revisi PP Remisi Dianggap Jadi "Karpet Merah" Koruptor, Ini Penjelasan Menteri Yasonna)
Ketentuan tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 memperketat narapidana korupsi, terorisme, dan narkoba mendapat remisi.
Di sana tercantum bahwa salah satu syarat pemberian revisi yakni adanya status JC bagi terpidana. Namun, pemerintah berencana merevisi PP No 99/2012 tersebut mengingat jumlah narapidana di seluruh Indonesia melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan (LP) yang ada.
Dalam draf revisi, ketentuan JC sebagai syarat remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika, dihilangkan.
(Baca: Dipertanyakan, Alasan Pemerintah Revisi PP Remisi karena Lapas Penuh)
Dengan adanya revisi PP ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendorong supaya tidak ada diskriminasi persyaratan bagi semua terpidana. Dia menolak jika dianggap revisi PP ini menjadi 'karpet merah' bagi koruptor untuk bebas lebih cepat.
Yasonna menyatakan, revisi PP itu mendorong agar prosedur pemberian remisi bagi seluruh narapidana dibuat menjadi satu pintu, yakni melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). TPP-lah yang nanti menilai berapa remisi yang didapatkan oleh seorang narapidana.
TPP terdiri dari perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Polri, KPK, ahli psikologi dan sebagainya.