JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah calon tunggal Kepala Kepolisian RI Komjen Pol Tito Karnavian menduduki kursi Kapolri berjalan mulus.
Uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR yang dijalaninya pada Kamis (23/6/2016) kemarin, berlangsung lancar, tanpa hambatan.
Secara aklamasi, seluruh fraksi di Komisi III DPR menyetujui Tito melenggang ke Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian RI.
Ia akan memimpin Korps Bhayangkara menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun pada akhir Juli 2016 mendatang.
Para anggota Komisi III DPR puas mendengar jawaban-jawaban dan paparan Tito terkait berbagai hal.
Menurut catatan Kompas.com, anggota DPR menyoroti upaya reformasi di internal Polri, rendahnya kesejahteraan polisi, hingga hubungan dengan lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan TNI.
(Baca: Aklamasi, Komisi III DPR Setujui Tito Jadi Kapolri)
Rekam jejak
Kompas.com juga mencatat ada tiga pertanyaan yang berkaitan langsung dengan rekam jejak Tito selama bertugas di kepolisian.
Pertanyaan yang paling sering diajukan mengenai penanganan terorisme yang diduga melanggar HAM. saat ia menjabat sebagai Kepala Densus 88.
Ada pula pertanyaan mengenai nama Tito yang disebut dalam rekaman percakapan kasus pencatutan nama Presiden.
Ketua DPR saat itu, Setya Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid menyebut Tito, ketika menjabat Kapolda Papua, berjasa memenangkan Jokowi pada pPlpres 2014.
Pertanyaan terakhir yang juga diajukan yakni soal isu aliran dana dari terpidana kasus pencucian uang dan pembalakan liar, Labora Sitorus.
1. Terorisme dan pelanggaran HAM
Tito menolak jika polisi dianggap melanggar hak asasi manusia dalam penanganan terorisme. Dalam catatan, sebanyak 121 terduga teroris teroris dalam operasi yang dilakukan kepolisian.
Ia menjelaskan, pihaknya ingin membawa para tersangka teroris ke pengadilan untuk diadili. Namun, polisi terkadang terpaksa melakukan tindakan yang mengakibatkan tewasnya para terduga teroris.
Jika tidak, nyawa polisi dan masyarakat yang menjadi ancaman.
"Pada saat yang bersangkutan mau ditangkap, mereka membahayakan petugas atau masyarakat umum," kata Tito.
Tito mencontohkan, serangan kelompok teroris di kawasan Sarinah, Jakarta, pada Januari 2016.
Ia mengatakan, dengan membawa senjata api dan bom, tidak mungkin para pelaku diminta tidak menembak, tidak meledakkan bom, dan menyerahkan diri.
"Ketika terjadi ancaman seketika yang membahayakan petugas dan masyarakat, maka dipikiran kami cuma satu bagaimana menghentikan ancaman itu," kata dia.