JAKARTA, KOMPAS.com - Komisaris Jenderal Tito Karnavian menolak jika polisi dianggap melanggar hak asasi manusia dalam penanganan terorisme selama ini.
Bantahan itu disampaikan Tito untuk menjawab isu HAM saat uji kepatutan dan kelayakannya sebagai calon kepala Polri di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Awalnya, sebelum pemaparan visi misi, beberapa anggota Komisi III mempertanyakan soal banyaknya para terduga teroris yang tewas. Setidaknya, jumlahnya mencapai 121 orang.
(baca: Komisi III Minta Tito Jawab Isu Pelanggaran HAM dalam Pemberantasan Terorisme)
Tito menekankan, pihaknya ingin membawa para tersangka teroris ke pengadilan untuk diadili. Namun, polisi terkadang terpaksa melakukan tindakan yang menewaskan terduga teroris. Jika tidak, nyawa polisi dan masyarakat yang menjadi ancaman.
Tito menjelaskan, jumlah terduga teroris yang tewas meningkat pascabom Bali. Sebelum bom Bali, polisi belum menjadi target serangan teroris.
Namun, setelah rentetan penangkapan para tersangka teroris pascabom Bali, polisi mulai menjadi sasaran aksi balas dendam kelompok teroris.
"Pada saat yang bersangkutan mau ditangkap, mereka membahayakan petugas atau masyarakat umum," kata Tito.
(baca: Tito Karnavian Mengaku Merasa Tidak Nyaman Memimpin Senior, tetapi...)
Tito memberi contoh serangan kelompok teroris di kawasan Sarinah, Jakarta, pada Januari 2016. Ia mengatakan, dengan membawa senjata api dan bom, tidak mungkin para pelaku diminta tidak menembak, tidak meledakkan bom, dan menyerah.
"Ketika terjadi ancaman seketika yang membahayakan petugas dan masyarakat, maka dipikiran kita cuma satu bagaimana menghentikan ancaman itu," ucap dia.
Siap mati
Tito menekankan bahwa para teroris sudah siap mati sehingga bersedia melakukan aksi bom bunuh diri. Setidaknya, pemahaman itu dianut 500 orang yang pernah diinterview Tito.
"Bagi mereka membunuh aparat, orang kafir itu pahala. Kalau terbunuh langsung masuk surga," ucap Tito.
(baca: Ini Jawaban Tito soal Rumor Terima Suap dari Labora Sitorus)