KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Advianti mengatakan bahwa anak memiliki hak untuk dilindungi dari pengaruh paham radikal dan terorisme.
"Harus ada perlindungan khusus melalui edukasi (pendidikan) soal ideologi dan nilai nasionalisme," kata Maria di Jakarta, Jumat (3/6/2016).
Bentuk perlindungan itu bisa macam-macam, melalui kurikulum pelajaran sekolah mulai usia dini ataupun sosialisasi pemahaman ancaman paham radikalisme dan terorisme kepada orangtua.
"Tidak perlu kurikulum khusus dalam melakukan pencegahan terhadap radikalisme karena bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran budi pekerti, agama, atau yang terkait," kata Maria.
Menurut dia, perlindungan itu wajib diberikan mengingat anak-anak termasuk kelompok yang rentan terhadap penyebaran paham radikalisme dan terorisme.
"Anak yang telah menjadi korban indoktrinasi radikalisme memerlukan rehabilitasi untuk mengoreksi nilai-nilai ideologi terorisme yang telah diserapnya selama masa inkubasi," ujar Maria.
Sedangkan Guru besar Ilmu Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Usman Ismail mengatakan, pencegahan radikalime merupakan hal mendasar yang harus dilakukan sejak dini.
Menurut dia, akar pencegahan radikalisme sebenarnya dimulai dari keluarga dan kemudian sekolah. Ada beberapa strategi untuk mencegah paham radikal di kalangan anak dan pelajar.
"Pertama, tercantum atau ada pelajaran khusus pendidikan antikekerasan. Kedua, masuk dalam semua pelajaran, agama, sejarah, IPS, dan lain lain," kata Asep.
Ketiga, Asep melanjutkan, menciptakan lingkungan yang bebas dari tindakan kekerasan di sekolah.
Menurut dia, guru-guru hendaknya menciptakan suasana belajar mengajar yang bisa membawa pelajar berdialog bahkan mengajukan protes dengan santun.
"Dengan demikian, benih yang bisa menumbuhkan radikalisme bisa dibuang sejak di sekolah," kata Asep. (Sigit Pinardi/ant)