JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir, yang menjadi terdakwa dalam kasus suap anggota Komisi V DPR membacakan nota pembelaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (30/5/2016).
Dalam salah satu isi pembelaannya, Abdul Khoir menyebut dirinya sebagai korban sistem yang salah dalam birokrasi bisnis.
"Sistem permainan yang salah membuat saya terjerembap. Untuk kenalan atau ketemu saja, saya tidak dianggap. Akhirnya, saya terpaksa ikut permainan yang salah dan jadi korban konspirasi pembagian jatah Komisi V DPR," ujar Abdul Khoir saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tipikor.
Menurut Abdul, sebagai seorang pengusaha, dia dituntut memiliki hubungan yang baik dengan para pemangku kepentingan, termasuk kepada penyelenggara negara yang berkaitan dengan bidang usaha yang dikerjakan.
(Baca: Abdul Khoir Tuding Politisi PAN Berbohong di Pengadilan)
Namun, guna memiliki hubungan yang baik tersebut, dia diharuskan untuk memberikan uang kepada penyelenggara negara. Jika tidak dilakukan, menurut Abdul, perusahaan yang ia pimpin tidak akan pernah mendapat proyek pekerjaan yang dilaksanakan pemerintah.
"Saya adalah pekerja keras, bukan makelar proyek. Tetapi, rezeki bagi saya adalah adanya proyek baru," kata Abdul Khoir.
Abdul Khoir didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam surat dakwaan, Abdul Khoir dinyatakan menyuap sejumlah anggota Komisi V DPR, yakni kepada Damayanti Wisnu Putranti (PDI-P) sebesar 328.000 dollar Singapura dan 72.727 dollar AS kepada Budi Supriyanto (Golkar) sebesar 404.000 dollar Singapura.
(Baca: KPK Kabulkan Permohonan Penyuap Anggota Komisi V DPR Jadi "Justice Collabolator")
Kemudian, ia juga memberi uang kepada Andi Taufan Tiro (PAN) sebesar Rp 2,2 miliar dan 462.789 dollar Singapura dan kepada Musa Zainuddin (PKB) sebesar Rp 4,8 miliar dan 328.377 dollar Singapura.
Selain itu, uang juga diberikan kepada Kepala BPJN IX Maluku Amran HI Mustary sebesar Rp 16,5 miliar dan 223.270 dollar Singapura, serta sebuah ponsel seharga Rp 11,5 juta.
Pemberian uang tersebut dilakukan oleh Khoir untuk mengupayakan dana dari program aspirasi DPR RI disalurkan untuk proyek pembangunan atau rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara serta menyepakati dia sebagai pelaksana proyek tersebut.