Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

21 Mei 1998, Berakhirnya Kekuasaan Soeharto dan Orde Baru

Kompas.com - 21/05/2016, 06:06 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah mencatat bahwa Mei 1998 menghadirkan rangkaian cerita panjang yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto.

Setelah berbagai peristiwa panjang, baik itu aksi demonstrasi yang menuntut Soeharto mundur hingga kerusuhan disertai kekerasan yang berbasis prasangka rasial, Soeharto pun mengakhiri masa kekuasaannya pada 21 Mei 1998.

Bapak Pembangunan Indonesia lengser keprabon.

Angin politik memang tidak berhembus sejuk ke Jalan Cendana, tempat keluarga Soeharto tinggal di Jakarta, sepanjang Mei 1998.

Padahal, gugatan terhadap kekuasaan Soeharto sebenarnya sudah terjadi sejak periode 1980-an. Pada pemilu 1982 misalnya, gugatan terhadap hasil pemilu yang memenangkan Golongan Karya sebagai mesin politik Soeharto mulai terdengar.

Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit pada 2 Januari 1982, Presiden Soeharto bahkan sudah membantah anggapan kecurangan pemilu, meskipun pemilu baru berlangsung pada 4 Mei 1982.

Saa itu bahkan Soeharto menjanjikan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Periode 1980-an juga diwarnai sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, yang menjadi catatan hitam kekuasaan Orde Baru.

Pelanggaran HAM berat itu di antaranya penembakan misterius alias petrus, Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, penggusuran paksa untuk waduk Kedung Ombo, juga Peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989.

Tidak hanya pelanggaran HAM, kekuasaan Orde Baru juga disertai dengan catatan pelanggaran terhadap hak demokrasi.

Jurnalisme dibelenggu dengan penerbitan surat izin usaha penerbitan pers. Kritik terhadap pemerintah, dipastikan menjadi jalan untuk dicabutnya SIUPP, yang berarti perusahaan pers dipaksa berhenti beroperasi.

Belenggu yang dihadirkan rezim Orde Baru malah menumbuhkan aktivis demokrasi. Sejumlah gerakan perlawanan muncul, yang kemudian segera dibungkam pemerintah dengan cepat. Salah satu tonggaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996.

Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedi Kudatuli itu, dinamika politik semakin panas, apalagi menjelang Pemilu 1997.

Periode ini juga ditandai dengan penculikan sejumlah aktivis demokrasi. Beberapa aktivis bahkan masih hilang hingga sekarang.

Namun, angin kencang yang dapat menggoyang kekuasaan Orde Baru terjadi pada pertengahan 1997, akibat krisis ekonomi.

Dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis presiden ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, krisis moneter itu "berkembang menjadi krisis multidimensional berkepanjangan di berbagai bidang".

Krisis menyebabkan Presiden Soeharto meminta Dana Moneter Internasional (IMF) untuk ikut membantu. Namun, IMF tidak dapat membantu. Krisis berlanjut, yang menyebabkan 16 bank harus ditutup.

Buku yang ditulis Habibie itu mencatat, pada akhir Januari 1998, nilai rupiah terpuruk di angka Rp 11.050. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran pun makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998.

Krisis itu juga yang menyebabkan rakyat menuntut perubahan kepemimpinan. Wacana reformasi pun bergulir, bermula dari diskusi dan aksi di dalam kampus, hingga akhirnya demonstrasi terbuka yang dilakukan mahasiswa di jalan raya.

Demonstrasi mahasiswa semakin membesar, terutama setelah terjadi penembakan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi di depan Universitas Trisakti. Penembakan yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu menewaskan empat mahasiswa Trisakti.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Penyidik KPK Enggan Terima Surat Ketidakhadiran Gus Muhdlor

Nasional
Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Di Puncak Hari Air Dunia Ke-32, Menteri Basuki Ajak Seluruh Pihak Tingkatkan Kemampuan Pengelolaan Air

Nasional
Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Ketum PGI Tagih Janji SBY dan Jokowi untuk Selesaikan Masalah Papua

Nasional
Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Gus Muhdlor Kirim Surat Absen Pemeriksaan KPK, tetapi Tak Ada Alasan Ketidakhadiran

Nasional
PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

PPP Minta MK Beri Kebijakan Khusus agar Masuk DPR Meski Tak Lolos Ambang Batas 4 Persen

Nasional
Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Sidang Sengketa Pileg Kalteng Berlangsung Kilat, Pemohon Dianggap Tak Serius

Nasional
Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com