JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mempersilakan masyarakat yang tidak puas dengan hasil persidangan Majelis Etik Mabes Polri untuk mengajukan laporan pidana terhadap dua anggota Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 yang diduga melakukan penganiayaan terhadap terduga teroris asal Klaten, Siyono, hingga tewas.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, mengatakan bahwa pada prinsipnya kepolisian akan menerima dan memproses kasus tersebut secara pidana apabila ada laporan dari masyarakat.
"Kami terbuka karena harus tetap diberikan pelayanan. Prinsipnya apabila ada laporan tetap diterima," ujar Boy Rafli saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (17/5/2016).
Boy Rafli mengatakan, saat ini kepolisian akan bersikap terbuka dan menghormati langkah-langkah hukum yang ada. Proses pidana yang dijalankan pun akan didasarkan pada alat bukti yang ada.
Dia pun meminta masyarakat tidak mengambil kesimpulan yang terburu-buru sebelum adanya hasil akhir yang akan dilaporkan oleh penyidik bila kasus tersebut diproses secara pidana.
"Yang berkaitan dengan penegakan hukum kan dilihat sampai sejauh mana nanti alat bukti itu mendukung persangkaan itu," kata Boy Rafli.
"Tentu kami hormati langkah-langkah hukumnya mau tidak mau kami ikuti saja dan bagaimana akhirnya tentu hasilnya tergantung dari penyidik yang menangani laporan itu," ucapnya.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Kabareskrim Polri segera memulai proses penyidikan pidana terhadap anggota Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 yang terlibat dalam kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Siyono.
Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Satrio Wirataru mengatakan, meskipun kepolisian telah menggelar sidang kode etik dan Majelis Etik Mabes Polri telah memvonis dua anggota Densus untuk meminta maaf dan sanksi demosi, namun hal tersebut tidak meniadakan proses pidana yang harus dijalankan.
"Hasil sidang etik tidak bisa menggugurkan mekanisme pidana. Kami minta kepolisian segera memproses laporan tindak pidana dari keluarga korban ke Polres Klaten," ujar Satrio saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Senin (16/5/2016).
Satrio menjelaskan, saat menemukan adanya dugaan tindakan pidana, seharusnya polisi terlebih dulu menggelar penyidikan dan penjatuhan sanksi melalui persidangan tindak pidana.
Setelah itu, mekanisme sidang etik oleh Majelis Etik Mabes Polri bisa dilakukan agar penjatuhan sanksi etik, yakni pemberhentian dengan tidak hormat, bisa dijatuhkan.
Satrio pun memandang bahwa mekanisme etik yang dilakukan mendahului mekanisme pengadilan pidana bisa menjadi preseden buruk apabila di kemudian hari terjadi kasus yang sama oleh anggota Densus 88.
Oleh karena itu, menurut Satrio, proses pidana harus tetap ditempuh untuk menjamin rasa keadilan dalam pemberian sanksi dan pemenuhan hak-hak bagi korban maupun keluarganya dalam proses hukum.
Proses pidana juga dinilai penting untuk dilakukan sebagai koreksi terhadap kinerja Densus 88. Jangan sampai, kata Satrio, penanganan terduga teroris menjadi sewenang-wenang.
"Seharusnya bila ada dugaan pelanggaran Polisi menggelar proses Pidana kemudian sidang etik," ucap Satrio.
"Jangan sampai penanganan terduga jadi sewenang-wenang," kata dia.