JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai bahwa Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 tidak memberikan cukup ruang bagi penyintas untuk mengungkapkan aspirasinya.
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma mengatakan, berdasarkan kerangka acuan yang ada, alokasi waktu 2 hari untuk membahas peristiwa 1965 didominasi untuk presentasi para pembicara dengan tema di luar hak asasi manusia.
Dengan kata lain, menurut Feri, Simposium digelar hanya untuk mendengar pendapat pakar.
"Tidak didapati alokasi waktu yang cukup atas suara penyintas. Tidak ada ruang bagi mereka untuk bersuara. Hanya penyampaian pakar, jadi ya seperti seminar," ujar Feri di Jakarta, Jumat (15/4/2016).
Feri juga menduga presentasi oleh pakar tersebut justru akan menempatkan pembenaran-pembenaran praktik kekerasan terhadap warga sipil yang seharusnya dilindungi negara.
Sementara komposisi perwakilan dari organisasi korban yang hadir dinilai tidak bisa menjadi representasi seluruh korban/penyintas peristiwa 1965.
Lebih lanjut Feri menjelaskan, Simposium akan menjadi dasar rekonsiliasi tanpa ada pengungkapan kebenaran.
Hal tersebut, kata Feri, tersirat dalam pernyataan yang pernah dikeluarkan oleh Ketua Pengarah Simposium Nasional Agus Widjoyo.
Saat itu Agus mengatakan bahwa tujuan Simposium diadakan bukan untuk mencari siapa yang benar dan yang salah, tetapi mencari akar permasalahan.
Agus pun pernah menegaskan Simposium akan meluruskan proses rekonsiliasi yang sempat didengungkan oleh pemerintah sebelumnya.
"Simposium ini hanya menjadi wadah penyampaian pendapat para pakar. Jadinya ya seperti seminar," ucap Feri.
Dari kerangka acuan yang diterima Kompas.com, diketahui bahwa Simposium tersebut diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Dewan Pers, Forum Silaturahmi Anak Bangsa, dan beberapa universitas.
Simposium akan diselenggarakan di Hotel Arya Duta, Jakarta, pada 18 dan 19 April 2016.
Selama dua hari itu, panitia Simposium Nasional akan menghadirkan para pakar hukum dan sejarah dalam diskusi untuk membahas secara reflektif terkait peristiwa kekerasan 1965.
Selain itu Simposium Nasional diharapkan bisa menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk memberikan konsep pemulihan dan rehabilitasi korban.