Hal itu diungkapkan akademisi hukum pidana dari Universitas Trisakti Yenti Ganarsih.
"Sebab, penangkapan kemarin itu terungkap akibat penyadapan. Sementara salah satu yang direvisi adalah penyadapan harus meminta izin pengadilan. Bagaimana kita bicara di pengadilan sementara di MA saja bermasalah," ujar Yenti di Kompleks PTIK, Jakarta pada Senin (15/2/2016) siang.
Pada pertengahan 2015 lalu, revisi UU KPK sempat memunculkan wacana penyadapan dilakukan atas izin dari pengadilan. Namun, dalam draf revisi UU KPK terbaru, DPR mensyaratkan izin dari Dewan Pengawas, bukan lagi dari pengadilan.
Akan tetapi, pimpinan Badan Legislasi DPR menyatakan bahwa draf itu mungkin saja berubah sesuai dengan dinamika pembahasan di parlemen.
Yenti mengkritik apabila penyadapan perlu mendapat izin dari pengadilan. Pasalnya, penangkapan pejabat MA atas dugaan kasus korupsi menunjukkan sistem hukum di Indonesia belum bersih dari tindak pidana korupsi.
(Baca: DPR Perketat Penyadapan KPK, Nanti Harus Seizin Dewan Pengawas)
Oleh sebab itu, para penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi, khususnya KPK, justru harusnya diperkuat, bukan malah dipreteli wewenangnya. Yenti menganggap bahwa UU KPK saat ini belum perlu diutak-utik.
Dia justru lebih menekankan revisi pada undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Sebab, bentuk korupsi semakin hari semakin berkembang sehingga membutuhkan pengembangan payung hukum pula.
Diberitakan, penyidik KPK menangkap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Perdata Khusus Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna, Jumat (12/2/2016).
(Baca: Indriyanto: Dewan Pengawas Tak Bisa Ikut Campur Teknis Yuridis seperti Penyadapan)
Andri ditangkap bersama-sama dengan Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi dan dan pengacaranya Awang Lazuardi Embat.
Mereka langsung ditetapkan sebagai tersangka. Atas perbuatannya, Andri disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara terhadap Ichsan dan Awang disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.