JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat pleno Mahkamah Kehormatan Dewan pada 24 November 2015, memutuskan membawa kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto ke persidangan.
Keputusan ini sempat diwarnai dengan silang pandang mengenai legal standing atau kedudukan hukum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said sebagai pelapor.
Namun, setelah menghadirkan pakar bahasa Yayah Bachria untuk menafsirkan aturan mengenai legal standing dalam tata beracara, akhirnya tak ada ganjalan lagi bagi MKD untuk melanjutkan kasus Novanto ke persidangan.
Sehari setelah keputusan tersebut diketuk, Fraksi Partai Golkar melakukan pergantian "pemain" dengan merombak seluruh anggotanya di MKD. (baca: F-Golkar Ikut Ganti Semua Anggotanya di MKD)
Wakil Ketua Hardisoesilo diganti oleh Kahar Muzakir. Dua anggota lainnya, Dadang S Muchtar dan Budi Supriyanto digantikan oleh Ridwan Bae dan Adies Kadir.
Sampai saat ini, baik elite di fraksi maupun DPP Golkar tak pernah memberikan alasan yang pasti mengenai pergantian tersebut.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, misalnya, hanya menyebut bahwa kinerja tiga anggota sebelumnya kurang optimal. (baca: Golkar Rotasi Anggotanya di MKD, Aburizal Bantah Lindungi Setya Novanto)
Padahal, mereka terlihat selalu hadir dalam rapat dan sidang MKD, termasuk dalam kasus Novanto.
Yang jelas, sebelum pergantian ini dilakukan, Ketua Fraksi Golkar Ade Komarudin memang sempat menginstruksikan kepada anggotanya di MKD untuk secara optimal membela Setya Novanto.
"Kami punya anggota di MKD, tentu kami minta mereka membantu Novanto sesuai koridor dan etika yang berlaku," kata Ade saat itu.
Gebrakan
Di rapat pertamanya, Senin (30/11/2015), tiga "pemain" baru Golkar langsung membuat gebrakan. Mereka ingin menganulir hasil keputusan rapat tanggal 24 November 2015, yang telah memutuskan membawa kasus Novanto ke persidangan.
Mereka kembali mempermasalahkan legal standing Sudirman Said, dengan argumen tak cukup hanya menghadirkan pakar bahasa, melainkan juga pakar hukum tata negara.
Mereka juga mempermasalahkan rekaman percakapan antara Setya Novanto, pengusaha minyak Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang hanya berdurasi 11 menit.
Padahal, dalam laporannya, Sudirman Said menyebut pertemuan berlangsung selama 120 menit. (baca: Sudirman Said: Kalau Dipanggil MKD, Saya Akan Serahkan Rekaman Lengkap)