Di sisi lain, Haris khawatir keputusan itu bisa melanggengkan efek negatif politik dinasti, yakni korupsi, kolusi dan nepotisme. Haris pun melihat peran partai politik perekrut calon kepala daerah sebagai benteng akhir agar efek negatif tersebut tidak terjadi.
"Yang penting, bagaimana kita mendorong seleksi yang sehat dari partai politik sekaligus meningkatkan kualitas pemilu," ujar Haris dalam acara diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/7/2015).
Partai politik, sebut Haris, harus merekrut kepala daerah berdasarkan visi, misi serta gagasan dia akan perubahan. Parpol, lanjut Haris, jangan terjebak pada orientasi kemenangan sehingga memilih sosok-sosok yang populer dan memiliki elektabilitas tinggi.
Haris menilai, eksistensis dinasti politik di tanah air adalah persoalan yang kompleks. Sebab, hal itu terkait kultural, kualitas politik, pendidikan, kesejahteraan dan lain-lain.
Oleh sebab itu, persoalan itu tak dapat diselesaikan secara instan, misalnya melalui penerbitan undang-undang. Haris sependapat dengan MK bahwa pada dasarnya dipilih dan memilih merupakan hak setiap warga negara. Tidak boleh ada tindakan diskriminasi, apalagi berbentuk undang-undang. Ada banyak cara yang bisa dilakukan agar efek negatif politik dinasti bisa dicegah tanpa harus mendiskriminisasi.
"Artinya, kalau ada calon kepala daerah dari anaknya petahana atau saudaranya, tidak jadi masalah. Sepanjang seleksinya berlangsung secara fair dan sehat," ujar dia.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
MK menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi. Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik.
Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara. Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi.
Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang. Pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana. Adapun permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.