Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi PAN Duga Ada Motif Tertentu di Balik Pernyataan Faisal Basri

Kompas.com - 28/05/2015, 07:38 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Politisi Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edy, menduga ada tujuan tertentu dari ekonom Faisal Basri sehingga melayangkan tudingan terhadap mantan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa. Menurut dia, dari tudingannya, Faisal seakan menginginkan Indonesia kembali menjadi bangsa kuli dengan menjual mineral mentah.

"Dugaan saya, beliau ini sedang memainkan satu peran. Saya susah bicaranya karena bagaimanapun beliau saudara kami, tapi insya Allah kita sangat paham," kata Tjatur saat dihubungi, Kamis (28/5/2015).

Tjatur mengatakan, dugaannya bukan tanpa alasan. Dalam waktu yang hampir berdekatan, menurut dia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga mengeluarkan pernyataan yang bernada menyerang mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Sudirman menyebut banyak kasus mafia migas yang penanganannya berhenti di meja Presiden.

"Ada oknum pemerintah sekarang yang mencoba melanggar Undang-Undang No 4 Tahun 2009. Dan ada upaya pihak tertentu agar kita kembali menjadi bangsa kuli yang hanya menjual ciptaan tuhan," ujarnya.

Sebelumnya, Faisal menyebut Hatta sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Ia menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah untuk maju dalam Pemilu Presiden 2014.

Tjatur mengatakan, Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri sudah sesuai dengan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya Pasal 102, 103, dan 170. Ia menjelaskan, setiap perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian hasil pertambangannya di dalam negeri.

Selain itu, perusahaan kontrak karya juga diberi kewajiban untuk membangun tempat pemurnian atau smelter selambat-lambatnya lima tahun setelah UU itu disahkan.

"UU itu disahkan pada 12 Januari 2009 sehingga penerbitan Permen ESDM tersebut sudah sesuai dengan amanah UU karena diterbitkan selambat-lambatnya pada 12 Januari 2014. Kalau pemerintah tidak menerbitkan permen itu, itu artinya beliau melanggar amanah UU dan itu berdampak Presiden bisa di-impeach," papar Tjatur.

Anggota Komisi III itu menilai, dalam jangka pendek penerapan UU dan Permen tersebut berdampak pada pengurangan devisa yang masuk. Pasalnya, belum semua perusahaan pertambangan yang siap dan telah memiliki smelter. Meski demikian, negara juga tidak mengalami kerugian karena barang hasil tambang perusahaan itu masih utuh dan tidak bisa dibawa keluar.

Lebih jauh, Tjatur mengatakan, penerapan regulasi ini juga tak sedikit mendapatkan penolakan. Bahkan, penolakan itu sudah terjadi sejak UU itu dibahas pada 2009 lalu antara pemerintah dan DPR. Namun, ia mengapresiasi kinerja pemerintah dan DPR saat itu yang telah berkomitmen untuk meningkatkan nilai jual hasil pertambangan.

"Memang kebijakan ini bagi orang-orang neolib, para pemburu rente, dan penghamba Washington Consensus adalah kebijakan yang tidak populer. Negara-negara besar tidak suka melihat Indonesia menjadi negara besar karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang cenderung protection nationalism," ujar Tjatur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com