Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nawacita dan Buruh Migran

Kompas.com - 05/05/2015, 15:01 WIB

Oleh: Anis Hidayah

JAKARTA, KOMPAS - Belum genap satu semester pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, beberapa nyawa telah melayang demi sebuah kebijakan yang kebajikannya masih patut dipersoalkan.

Di dalam negeri, eksekusi mati enam terpidana kasus narkoba mengawali rangkaian nyawa yang mesti dihilangkan karena dianggap tak layak lagi menghuni bumi yang telah Tuhan ciptakan.

Di luar negeri, Siti Zaenab dan Karni mesti menghadapi algojo untuk sebuah kejahatan yang tak pernah Pemerintah Indonesia melihat secara lebih jernih masalah yang menimpa buruh migran selama ini untuk melakukan pembelaan dan memberikan perlindungan. Pengalaman saya selama ini, hampir setiap kejahatan yang dialamatkan kepada buruh migran, bukan mereka yang mencipta causa utamanya.

Lebih mengerikan lagi, ternyata eksistensi pemerintah ini tak mendapatkan penghargaan setara dengan bagaimana mereka selalu menempatkan bangsa lain dalam layanan kelas wahid. Mungkin hanya bangsa ini yang tidak pernah marah meski sering dilecehkan bangsa lain. Terakhir, dua buruh migran Indonesia yang dieksekusi mati Pemerintah Arab Saudi tanpa ada selembar notifikasi kepada Pemerintah Indonesia menjadi bukti nyata bahwa kita sebagai bangsa yang tak berharga di mata bangsa lain.

Program Nawacita, yang salah satunya menjanjikan kehadiran dan perlindungan negara serta memberi rasa aman kepada seluruh warga negara Indonesia, saat ini tak dapat diharapkan. Itu semua tak lebih sebagaimana janji-janji gombal para politisi yang memang dibuat, tetapi tidak untuk ditepati. Saat ini kita memang perlu kehadiran negara, bukan karena Nawacita yang telah dijanjikan itu, tetapi karena memang kita sedang dalam kondisi yang kritis. Hal itu mengingat di belakang Siti Zaenab dan Karni masih ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara.

Menurut catatan Migrant Care, setidaknya 278 buruh migran Indonesia terancam hukuman mati dan 59 di antaranya sudah vonis tetap dan 219 dalam proses hukum. Tidak menutup kemungkinan angka tersebut terus bertambah. Sebab, dalam lima tahun terakhir angka kasus ancaman hukuman mati menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sepanjang 2013-2015, setidaknya 92 kasus baru muncul. Ini mengindasikan bahwa Pemerintah Indonesia gagal melakukan upaya pencegahan dan perlindungan.

Perbudakan modern

Sejak era 1990-an kasus buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati merupakan isu krusial, yang ditandai dengan eksekusi mati terhadap Basri Masse (1993) di Malaysia. Hingga kini kasus ancaman hukuman mati seolah tak terpecahkan, sehingga tak aneh bila saat ini mencapai angka ratusan. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk satuan tugas (satgas) penanganan WNI yang terancam hukuman mati pascaeksekusi terhadap Ruyati. Namun, satgas ini bersifat ad hoc, hanya satu tahun, dan juga tidak mampu menahan laju kasus-kasus baru buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Pekerjaan rumah penting yang selama ini tidak diprioritaskan Pemerintah Indonesia dari masa ke masa adalah reformasi sistem perlindungan. Lemahnya perlindungan negara, terutama terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran, menjadi latar untuk terciptanya kondisi kerja tidak layak yang mengakibatkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sistematis. Dalam kondisi kerja tidak layak (bekerja lebih dari 18 jam, tidak ada istirahat, tidak ada libur, terbatas akses komunikasi) mereka rentan mengalami penyiksaan dan perkosaan.

Kondisi ini sering menyebabkan mereka terpaksa melakukan tindakan kriminal untuk membela diri dan mempertahankan kehormatan mereka sebagai manusia dan perempuan. Seperti yang dihadapi Ruyati, Yanti Iriyanti, Siti Zaenab, dan Karni, yang kesemuanya mesti dihukum mati untuk sebuah kejahatan yang terpaksa mereka lakukan. Oleh karena itu, memastikan kondisi, situasi, dan motivasi dalam sebuah tindak kejahatan menjadi pertimbangan hakim selama persidangan adalah hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah ini.

Diplomasi tingkat tinggi

Merunut rentetan eksekusi mati yang pernah dilakukan di Arab Saudi, mulai dari Yanti Iriyanti (2008), Ruyati (2011), Siti Zaenab, dan Karni (2015)—semua tanpa notifikasi kepada Pemerintah Indonesia—Presiden Jokowi selaku kepala negara dan kepala pemerintahan harus mampu memimpin langsung diplomasi pembelaan terhadap buruh migran yang masih berderet panjang menghadapi ancaman hukuman mati.

Presiden harus mampu mengambil pelajaran berharga dari pendahulunya, Abdurrahman Wahid, dan juga Presiden Filipina, Perdana Menteri Australia, serta Presiden Brasil sebagai kepala negara yang bersungguh-sungguh berupaya melindungi dan membela warga negaranya. Diplomasi harus dimulai dari Pemerintah Indonesia sendiri untuk menghapus hukuman mati atau setidaknya melakukan moratorium hukuman mati, sehingga Pemerintah Indonesia memiliki legitimasi moral untuk membebaskan warganya dari hukuman mati. Selain itu, harus segera disusun kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang yang komprehensif dengan skema migrasi yang mengedepankan penegakan HAM untuk mengakhiri rezim migrasi yang eksploitatif.

Revisi UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran harus segera dituntaskan dengan berbasis pada prinsip-prinsip yang ada dalam International Convention on the Protection of All Rights of Migrant Workers and Their Families yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia pada 12 April 2012. Revisi terhadap UU tersebut juga harus memiliki spirit menghapuskan peran swasta yang selama ini memonopoli proses migrasi untuk memastikan hadirnya kembali negara mulai desa hingga sentral birokrasi.

Wajah migrasi yang perempuan juga menuntut pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PRT di dalam negeri dan ratifikasi konvensi ILO 189. Pengesahan RUU PRT akan memperkuat diplomasi Indonesia untuk memproteksi PRT migran Indonesia di luar negeri. Saya hanya ingin mengingatkan, keinginan pemerintah menghentikan pengiriman PRT migran ke luar negeri tanpa dibarengi solusi yang memadai di dalam negeri itu hanya akan melanggar hak setiap orang untuk bekerja.

Bila pemerintah tak segera mengakhiri persoalan ini semua, kiranya rezim ini memang suka bermain dengan nyawa. Semoga saya keliru!

Anis Hidayah
Executive Director of Migrant Care

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2015 dengan judul "Nawacita dan Buruh Migran".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com