Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Momentum Politik Jokowi?

Kompas.com - 17/03/2014, 06:56 WIB


Oleh: Eep Saefulloh Fatah 

KOMPAS.com - SAMPAI Jumat (14/3) siang, Tuhan masih menyisakan tiga hal sebagai misteri bagi kita di Indonesia: jodoh dan kematian kita serta keputusan Megawati Soekarnoputri soal kandidat presiden dari PDI-P.

Tapi, Jumat sore, misteri terakhir terpecahkan. Joko Widodo alias Jokowi resmi diajukan PDI Perjuangan sebagai calon presiden. Keputusan Megawati itu tentu saja dilatari tingginya elektabilitas Jokowi menurut berbagai survei. Bagaimana memahaminya? Mengapa Jokowi? Inilah beberapa kemungkinan jawabannya.

Pemilu 2014 tak bisa dilihat sebagai potret atau gambar statis. Ia adalah gambar bergerak dalam sebuah rangkaian adegan. Memahami Pemilu 2014 pun mesti dilakukan dengan menelusuri apa saja pengalaman dan peristiwa yang terjadi sepanjang perjalanan menuju 2014.

Di sepanjang jalan inilah kita, antara lain, bersua dengan pengalaman di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejauh yang saya pahami, ada dua aspek yang hilang, sulit ditemukan sepanjang hampir satu dekade terakhir ini: keberanian membuat keputusan dengan sigap dan otentisitas (para) pemimpin.

Keberanian mengambil risiko atas keputusan yang dibuat, kesediaan bertanggung jawab tanpa melemparkan tanggung jawab itu kepada pihak lain (termasuk kepada bawahan), kesigapan bekerja sambil tetap menjaga perhitungan teknokratis adalah beberapa hal yang hilang dan kita rindukan dalam kerja kepemimpinan. Pemimpin yang berani, tegas, sigap mengambil keputusan, dan berdiri gagah penuh tanggung jawab jadi barang langka.

Selain itu, banyak politisi mengidap cedera otentisitas akut. Otentisitas adalah keotentikan diri, ditandai dengan bersih dan tak terkaitnya ia dengan masalah yang ia harus urus. Pemimpin otentik akan didengar dan dipatuhi saat mengajak semua orang memberantas korupsi karena ia, keluarga, dan lingkaran terdekatnya tak tersangkut perilaku korupsi. Seorang pemimpin otentik akan dipandang dengan hormat sebagai pembela keadilan karena orang tak menemukan jejak ketidakadilan atau pembiaran praktik ketidakadilan dalam rekam jejak kepemimpinannya.

Terlepas dari pembelaan diri para politisi bahwa mereka berani dan otentik, publik berpendapat sebaliknya. Sebagaimana halnya ”pemimpin yang berani”, ”pemimpin otentik” dipahami sebagai barang langka saat ini.

Pemilu 2014, terutama pilpres, terjadi di tengah momentum politik kebutuhan akan pemimpin berani dan otentik itu. Terus naiknya popularitas, disukai, dan elektabilitas Joko Widodo alias Jokowi sejak lebih dari setahun lalu tampaknya berkaitan dengan momentum politik ini.

Apakah dengan demikian bisa kita simpulkan Jokowi berani dan otentik? Belum tentu. Tapi, sejauh ini, dalam kerja kepemimpinan yang sudah dan sedang diembannya, Jokowi berhasil membangun identitas, integritas, dan citra sebagai pemimpin yang berani dan otentik itu. Setidaknya belum ada data yang secara telak membantah ini kecuali rumor dan informasi yang beredar di media sosial.

Pembuka jalan keluar

Selain itu, Jokowi juga diuntungkan oleh posisi dan waktu. Dengan jadi Gubernur DKI Jakarta sejak 15 Oktober 2012, ia terpajang di etalase politik nasional. Dengan segenap keunikannya, Jokowi pun dengan cepat jadi kekasih media (nasional). Dan, mengingat Jakarta adalah ibu kota industri televisi Indonesia, sang kekasih media ini pun dengan masif dan berkelanjutan jadi bahan pemberitaan TV yang menjangkau seantero Nusantara.

Tetapi, bukan hanya hubungan mesranya dengan media yang membuat postur politik Jokowi menjulang dengan segera. Faktor lain yang juga berperan penting adalah keunikan posisi politiknya sebagai gubernur Jakarta. Di Indonesia ada tiga jenis gubernur: gubernur DI Yogyakarta, gubernur DKI Jakarta, dan 31 gubernur provinsi lain. Gubernur Yogya paling ”kurang beruntung” secara politik sebab ia sendiri tak dipilih secara langsung oleh warganya, tetapi mesti berhubungan dengan para bupati dan wali kota hasil pemilihan langsung.

Gubernur Jakarta adalah gubernur paling beruntung karena diposisikan sebagai eksekutor tanpa hambatan politik dari bawah. Sang gubernur yang merupakan hasil pilkada ini membawahkan lima wali kota dan satu bupati administratif yang tak satu pun dipilih langsung warganya. Wali kota dan bupati administratif itu adalah bawahan yang ditunjuk langsung oleh gubernur. Itulah yang membedakan gubernur Jakarta dengan semua gubernur di 31 provinsi lainnya. Untuk menjadi eksekutor kebijakan, para gubernur di semua provinsi lain harus bertarung dengan para bupati dan wali kota di wilayah mereka yang berlegitimasi kuat karena dipilih langsung warganya.

Posisi unik itu membuat gubernur Jakarta jadi sang eksekutor yang bukti nyata kerjanya bisa dilihat dan diukur dengan lebih gampang dibandingkan gubernur lain di Indonesia. Gubernur Jakarta harus bersentuhan langsung dengan persoalan sehari-hari publik dan bisa mengeksekusi langsung kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi. Gubernur Jakarta adalah bupati besar atau wali kota besar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com