Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/03/2014, 10:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menyusul dibukanya peluang pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali oleh Mahkamah Konstitusi, dibutuhkan pengaturan baru terhadap upaya hukum luar biasa tersebut. Pengaturan dimaksudkan agar Mahkamah Agung tidak banjir perkara PK.

Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun, Minggu (9/3), meminta pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk membatasi pengajuan PK cukup dua kali. Jika pembentuk UU memerlukan waktu yang lama, ia mengusulkan masalah itu diatur dalam peraturan Mahkamah Agung.

Namun, ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin berpendapat, yang dibutuhkan saat ini adalah peraturan untuk memperketat pengajuan PK. Pembatasan pengajuan PK tidak sesuai dengan filosofi putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan bahwa pengajuan PK tidak boleh lebih dari sekali.

Dalam putusannya, Kamis pekan lalu, MK meminta negara tak membatasi hak konstitusional warga negara dalam mencari keadilan sehingga pembatasan pengajuan PK hanya sekali bertentangan dengan konstitusi.

”Kekhawatiran akan terjadi banjir perkara dengan dibukanya keran pengajuan PK sama dengan perdebatan ketika undang-undang memberi hak kepada setiap warga negara untuk mengajukan uji materi. Ini karena ada 250 juta rakyat Indonesia yang tiap hari bisa menguji sebuah UU ke MK. Namun, ternyata tidak juga. Jadi, sekarang, yang paling penting adalah bagaimana mengatur PK. Atur mekanismenya, misalnya dengan pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa apakah benar ada alasan yang memadai, seperti novum atau bukan,” tutur Irman.
Hanya untuk pidana

Menurut Gayus, putusan MK yang membatalkan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP telah menimbulkan kekosongan norma. MK tidak punya kewenangan membuat norma baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Menurut dia, putusan MK itu juga tidak serta-merta dapat dibaca bahwa PK bisa dilakukan berkali-kali tanpa batas sehingga tidak memberikan kepastian hukum.

Kekhawatiran bahwa putusan MK itu akan membuat PK dilakukan terus-menerus atau untuk mengulur waktu pelaksanaan eksekusi perlu disikapi pembentuk UU atau MA dengan segera mengisi kekosongan norma setelah Pasal 268 Ayat (3) KUHAP dibatalkan. MA punya kewenangan mengatur hal tersebut. Ini karena Pasal 79 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA memberikan kewenangan bagi lembaga itu untuk mengatur hal-hal yang diperlukan demi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

”Isi pengaturan itu, misalnya, PK kepada pihak yang berkepentingan, termasuk kejaksaan yang mewakili negara dan terpidana atau ahli warisnya, masing-masing maksimal dua kali. Dua kali merupakan pembatasan waktu yang bersifat partikulatif atau pembatasan yang wajar,” ujar Gayus Lumbuun.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra berpendapat, putusan MK yang membatalkan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP hanya berlaku untuk perkara pidana. Ini karena permohonan Antasari ke MK spesifik hukum acara pidana sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum pidana materiil.

Dengan demikian, lanjut Yusril, putusan MK tersebut tidak berlaku untuk perkara perdata, tata usaha negara, dan lainnya. Untuk perkara-perkara itu, PK tetap hanya sekali. (ana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Nasional
Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Nasional
Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Nasional
14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com