Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polri Buka Peluang Periksa Dirjen Bea Cukai

Kompas.com - 17/12/2013, 21:52 WIB
Deytri Robekka Aritonang

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Polri terus mengembangkan penyidikan kasus dugaan gratifikasi yang dilakukan mantan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Sulastyono. Untuk itu, penyidik mungkin saja memeriksa Dirjen Bea dan Cukai.

"Manakala nanti memang harus diminta atau dimungkinkan untuk dimintakan kebutuhan keterangan beliau (Dirjen Bea dan Cukai) akan kami panggil juga, dilakukan pemeriksaan," ujar Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol Rahmad Sunanto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (17/12/2013).

Hanya, kata dia, berdasarkan perkembangan kasus yang sedang ditangani pihaknya saat ini, kata dia, penyidik belum menilai perlunya keterangan dari orang nomor satu di Ditjen Bea dan Cukai itu. Pemeriksaan Dirjen, katanya, akan disesuaikan dengan kebutuhan penyidikan.

"Sesuai kebutuhan. Saat ini belum memang belum dilakukan pemeriksaan," kata Rahmad.

Rahmad mengatakan, Penyidik Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Eksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah memeriksa tiga orang saksi untuk mendalami kasus itu, Senin (16/12/2013). Pemeriksaan itu untuk mengetahui modus operandi yang dilakukannya bersama pemberi gratifikasi, Yusran Arief (YA).

"Tiga orang saksi sudah hadir dan dilakukan pemeriksaan. Kami ingin mengetahui modus operandi yang dilakukan para tersangka ini dalam melakukan kegiatannya tentunya berkaitan dengan importasi yang dilakukan perusahaan YA," ujar dia.

Ia mengatakan, tiga orang saksi tersebut adalah, Kepala Seksi Intelijen Direktorat Bea Cukai Mulyadi, Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok III Bambang Semedi, dan Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Priok I  Sumantri. Selain pengumpulan keterangan saksi, kata dia, penyidik juga melakukan penggeledahan di kantor gudang Bea Cukai di Merunda, Jakarta Utara. Menurutnya, penggeledahan dilanjutkan, pada Selasa, hari ini.

"Dan masih akan dilakukan penggeledahan nanti bila masih diperlukan," kata dia.

Heru diduga menerima suap dalam rupa polis asuransi berjangka senilai Rp 11,4 miliar. Suap tersebut diduga diterima Heru dari Yusran Arief selama kurun 2005-2007, saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok di Jakarta Utara. Jabatan Heru saat sebelum dinonaktifkan adalah sebagai Kasubdit Ekspor dan Impor Ditjen Bea Cukai.

Dugaan suap dalam kasus ini diberikan dalam rupa polis asuransi berjangka. Suap tersebut diduga diterima Heru dari Yusran Arief selama kurun 2005-2007, saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok di Jakarta Utara.

Yusran diduga menyuap Heru sebagai upaya menghindarkan perusahaannya dari audit pajak. Heru dan Yusran telah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini, dengan sangkaan Pasal 3 dan 6 UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Heru dan Yusran juga dikenakan sangkaan Pasal 3 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Merkeka dikenakan pula sangkaan Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com