Demikian disampaikan koordinator tim pemantau DPT PDI Perjuangan Arief Wibowo dalam jumpa pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/12/2013).
Arief menjelaskan, metode yang digunakan adalah menyandingkan data daftar pemilih tetap (DPT) yang secara resmi didapat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Data Agregat Kependudukan per Kecamatan (DAK2) versi Kementerian Dalam Negeri.
PDI Perjuangan menelusuri 77 daerah pemilihan yang ada di Indonesia. Arief menuturkan, untuk mendata pemilih siluman, pihaknya juga menggunakan konvensi yang selama ini berlaku, yakni DPT adalah 75 persen dari DAK2. Dengan konvensi ini, PDI Perjuangan pun berhasil menemukan 70 persen daerah pemilihan bermasalah atau sejumlah 54 dapil.
“Sebanyak 47 dapil di antaranya adalah basis massa PDI Perjuangan. Makanya kami sangat peduli betul masalah daftar pemilih ini,” ujar Arief.
Sejumlah daerah yang ditemukan bermasalah ialah semua dapil di Pulau Jawa, mulai dari DKI Jakarta hingga Jawa Timur. Di dapil Bogor yang masuk dalam Jabar V, jumlah pemilih ada 3.251.871 orang. Jumlah ini sekitar 93,2 persen dari total penduduk di daerah Bogor yakni 3.498.223. Dari daerah ini saja, PDI Perjuangan menemukan 634.954 pemilih tak wajar. Jumlah pemilih tak wajar itu jika konversikan dengan bilangan pembagi pemilu (BPP) setara dengan 4 kursi.
“Ini sangat tidak wajar persentasenya hampir 100 persen, artinya hampir semua penduduk di Bogor adalah pemilih, termasuk bayi,” kata Arief.
Di Aceh Selatan, yang masuk dapil Nangroe Aceh Darussalam 1, tercatat ada 617.552 pemilih. Padahal, jumlah penduduk di sana sesuai DAK2 hanya 222.849 orang. Artinya, persentase potensi partisipasi yakni 277,1 persen.
“Di daerah ini ada 450.415 pemilih tak wajar yang kami temukan,” ucap Arief.
Arief berharap agar KPU segera membereskan data pemilih ini. Dia meminta KPU untuk mau menyandingkan data pemilih bersalah berdasarkan nama dan alamat dengan partai-partai yang ada. Hingga kini, aku Arief, KPU tidak pernah dilibatkan PDI Perjuangan dalam proses penyandingan data.
“Kalau sampai suara kami dicaplok dengan cara-cara seperti ini (penggelembungan suara), maka Jokowi tidak akan jadi. Kami tidak tahu siapa yang diuntungkan dari praktik penggelembungan suara seperti ini,” imbuh Arief.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.