Perpres 24 Tahun 2024 mempercepat pembangunan jalan tol di Sumatera, termasuk Sumatera Utara dengan Aceh dan Jambi. Selain itu, ada pula pengusahaan 24 ruas jalan tol.
Baca juga: Demi Mudik Lebih Nyaman, LED Dipasang di Lebih dari 3.000 Titik JTTS
“Kalau mau bangun yang ujung Aceh sampai Sumatera Utara oke untuk ekonomi. Jalan Banda Aceh ke Medan itu jalan arterinya rame loh yang jualan. Terus ke Lhokseumawe dan seterusnya. Nah, kalau itu nanti dibangun tol ke sana, ini orang-orang ini ke mana, jualannya, itu yang mesti dipikirkan,” ujarnya.
Agus menambahkan, pemerintah dan Hutama Karya perlu memikirkan langkah jangka pendek dan jangka panjang untuk mengungkit ekonomi di sekitar jalan tol.
Dia mencontohkan, Jalan Tol Bitung-Manado dibangun karena pemerintah akan membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun, pembangunan KEK itu dibatalkan sehingga jalan tersebut kini sepi.
Agus meminta pembangunan JTTS juga diikuti dengan pembangunan bangkitan-bangkitan ekonomi di sekitar jalan.
“Kalau tidak ada bangkitan ekonomi, ya masyarakatnya tidak tambah kaya. Jadi, jalan tol itu dibangun supaya ada bangkitannya. Nah, diciptakanlah bangkitannya, ada nggak kawasan industri? Tadi contoh Manado-Bitung, akhirnya nggak ada yang lewat,” katanya.
Baca juga: Jokowi Resmikan Dua Ruas JTTS, Akses ke Danau Toba hingga KEK Sei Mengkei
Terkait hal itu, Agus meminta Hutama Karya menggelar pembicaraan dengan kalangan industri agar dalam 5 atau 10 tahun ke depan jalan tersebut dilalui pelaku industri KEK, perdagangan, perkebunan, hingga kawasan wisata.
“Misalnya, sekarang di Bakauheni, Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia (ASDP) membangun taman hiburan. Dari sekitar Lampung pasti akan sering ke situ kalau taman hiburannya bagus dan menarik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, skema pembiayaan dalam Perpres 24 Nomor 2024 tidak disebutkan dengan rinci dan akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Dalam hal ini, Hutama Karya merupakan pihak yang membangun dan mengoperasikan, termasuk dalam hal perawatan yang mahal jika pengerjaan dilakukan asal cepat.
Dia mengingatkan, skema KPBU memiliki risiko finansial bagi badan usaha milik negara (BUMN) yang terlibat, termasuk beberapa perusahaan BUMN di bidang konstruksi lain yang mengalami masalah tersebut.
Baca juga: Hutama Karya Garap Dua Proyek Junction Tol Trans-Sumatera, Kelar Tahun 2025
“Dengan penugasan ini, pemerintah hanya, misal urusin untuk tanah, tetapi untuk konstruksinya belum sehingga perusahaan harus cari sendiri,” ujarnya.
Meskipun pekerjaan Hutama Karya sedang ramai, seperti Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dan di Priuk, kekuatan BUMN ini terbatas karena aset dan liability serta berbagai macam instrumen finansialnya belum tentu sedang baik.
Agus berharap, pengerjaan JTTS dilakukan dengan normal sehingga Hutama Karya tidak terjebak pada persoalan perawatan dan operasional yang menjadi mahal. Sementara itu, lalu lintas harian rata-rata (LHR) belum bisa banyak.
“Kontraktor waktu bangun kan pinjam uang dari bank. Ketika sudah ditentukan berapa LHR-nya tidak mencukupi, dia harus menomboki, enggak tahu apakah jual obligasi atau apa,” ujarnya.