Coba renungkan kasus korupsi di dua kementrian: Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Pertanian.
Terlepas dari framing media atau bukan, betapa kekuasaan menjadi tempat subur untuk berternak kue kekuasaan yang sebagiannya untuk menghidupi ongkos politik para elite.
Narasi tentang “atas nama rakyat” seringkali hanya menjadi pemanis dan jembatan penghubung untuk tujuannya sendiri. Setelah tujuannya tercapai, jembatan itu diputusnya.
Politik karenanya tanpa sadar telah lama “dimaterialisasi” dalam logika transaksi ekonomi. Manusia sebagai “makhluk ekonomi” telah menjadi subjek yang liar dan “memperkosa” jati diri politik pada sebatas komoditas ekonomi.
Apakah sedemikan berubahnya kehidupan politik kita hari ini? Maka tidak salah rasanya untuk kembali melihat lebih tenang dan jernih tentang nilai-nilai kemanusiaan dalam jati diri politik.
Kepada para pemikir besar seperti Plato, Jhon Lock, dan Jurgen Habermas, diskursus tentang jati diri politik agaknya layak untuk didiskusikan kembali. Plato, Locke, dan Habermas memiliki pandangan berbeda tentang politik sebagai dualitas kepentingan.
Plato cenderung mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Locke sebaliknya, ia cenderung mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan publik.
Ia berpendapat bahwa manusia memiliki hak alamiah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, yaitu hak hidup, hak kebebasan, dan hak memiliki properti.
Ia berpendapat bahwa manusia pada awalnya hidup dalam keadaan alam, yaitu keadaan tanpa pemerintah, hukum, atau otoritas.
Dalam keadaan alam, manusia hidup bebas dan merdeka, tetapi juga rentan terhadap konflik, ketidakadilan, dan ketidakamanan.
Oleh karena itu, manusia membuat kontrak sosial, yaitu perjanjian untuk membentuk suatu pemerintahan yang berdasarkan pada persetujuan bersama. Tujuan dari pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak alamiah manusia dari ancaman orang lain.
Pemerintahan harus didasarkan pada prinsip konsensus, representasi, dan pemisahan kekuasaan.
Kepada Jurgen Habermas didapati pelajaran tentang demokrasi deleberatif, yaitu prosos komunikasi politik antara negara/pemerintah dan rakyat secara setara di mana rakyat memiliki peran dalam merumuskan kebijakan.
Ketiga filsuf itu menempatkan politik sebagai cara untuk pemuliaan nilai-nilai kemanusiaan terutama supermasi sipil. Intinya, kedaulatan rakyat menjadi kunci dari politik dan demokrasi.
Nyawa politik yang telah disuntikan dan dirumuskan oleh para pemikir dan ilmuan politik dalam praktiknya sering ditinggalkan oleh para politisi dalam aktivitas kompetisi yang cenderung semakin pragmatis.