Apalagi jika tingkat permintaan konsesi dari korporasi tambang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena ternyata untuk menjadi pengendali dan pengelola tambang yang serius tidaklah mudah.
Lebih mudah berjualan konsesi dan tetap menguntungkan. Fenomena “Ali-Baba” yang terjadi dalam Program Benteng tahun 1950-an bisa terulang kembali.
Program ini secara umum gagal dalam mencapai tujuannya untuk memajukan pengusaha “pribumi”.
Namun, menguntungkan sejumlah orang yang mendapatkan lisensi kemudian menjualnya kepada pengusaha “non-pribumi”, sebab ternyata untuk menjadi pengusaha “sejati” tidak cukup bermodal lisensi.
Reproduksi fenomena “Ali-Baba” dapat terjadi sebab ormas atau badan usaha milik ormas keagamaan tidak memiliki sumber daya (modal, jaringan, pengetahuan, dan sebagainya) yang memadai dan orang-orang yang menjadi representasinya tidak siap secara mental, moral, dan etika untuk terlibat dalam dunia tambang yang keras dan penuh risiko.
Pihak yang menjadi mitra pun reputasinya kurang bagus, meskipun memiliki kemampuan teknis dalam pengelolaan tambang.
Hal ini ditambah dengan lemahnya tata kelola organisasi dari ormas keagamaan, utamanya berkenaan dengan penyaluran keuntungan dari bisnis tambang untuk kepentingan organisasi dan jamaah.
Namun, jangan-jangan selama ini fenomena “Ali-Baba” tersebut yang terjadi dalam sebagian pengelolaan tambang? Didominasi para penjual konsesi dengan hanya menyisakan segelintir korporasi sebagai pengelola dan pengendali riil bisnis tambang?
Lalu, bagaimana ormas keagamaan akan berkiprah di dalam arena yang seperti itu?
Terakhir adalah ormas keagamaan gagal dalam mengelola tambang. Ukurannya, ormas tersebut bukan merupakan pengendali riil dalam pengelolaan tambang.
Pengendali sesungguhnya adalah pihak yang bekerjasama dengannya. Kemudian tambang yang dikelola tidak berhasil dalam mendatangkan keuntungan.
Alhasil, ormas gagal dalam membangun basis ekonominya. Ujungnya, tujuan menyejahterakan umat atau jamaah jauh panggang dari api.
Kondisi tersebut dapat menghasilkan perusahaan pengelola tambang milik ormas yang berstatus “papan nama”.
Hal itu masih lebih baik daripada ormas terjerat dalam beragam kasus hukum karena kegagalannya dalam mengelola tambang, yang akan membuat reputasinya menjadi buruk.
Kegagalan tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor. Ormas tidak memiliki sumber daya yang mumpuni, hanya bermodalkan lisensi.
Orang-orang yang menjadi representasinya tidak tahan secara mental, moral, dan etika dalam menghadapi beragam godaan dalam industri tambang yang menyilaukan mata.
Partner yang bersama-sama mengelola tambang bukan hanya tidak profesional secara teknis, tetapi juga jelek dalam hal reputasi. Karena ketidakhati-hatian, cadangan batu bara di wilayah konsesi pun tidak menguntungkan secara ekonomi.
Berikutnya adalah faktor harga batu bara yang rendah dan tata kelola ormas yang buruk.
Kelihatannya, bayangan akan mengalami kegagalan seperti itu menjadi pertimbangan yang membuat sejumlah ormas keagamaan cenderung berhati-hati atau bahkan menolak untuk berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan tambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.