Selain itu, keluar kantor harus izin tertulis atasan, tidak boleh menerima tamu, tidak diizinkan ada kantin. Saat waktu pulang, pegawai pulang seperti rombongan karyawan pabrik.
Parahnya lagi, tenaga sekuriti diambil dari pensiunan tentara. Jadilah PNS bekerja karena ketakutan. Hanya untuk mempertahankan periuk nasi, PNS taat, tanpa ada inovasi, kreativitas, dan inisiatif.
Pimpinan dari TNI saat itu minim terobosan. Manajemen modern baru diterapkan setelah reformasi birokrasi tahun 1999. Saat itu, pimpinan dari sipil dan ahli dalam administrasi publik.
Hingga tahun 2015, banyak kerabat atau kenalan yang minta bantuan untuk pindah dari kementerian yang dipimpin oleh militer ke pemerintah daerah atau kementerian lain.
Mengembalikan TNI ke posisi sipil sama saja dengan membangunkan pola pikir Orde Baru. Kala itu, TNI – dahulu ABRI – tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan, tetapi juga ikut campur dalam urusan sosial politik.
Militerisme tersebut menjadi penopang utama rezim politik otoriter.
Wacana menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil, dengan kata lain, bertolak belakang dengan upaya menghilangkan dwifungsi ABRI, salah satu tuntutan utama dari reformasi 1998.
Artinya, dengan memaksakan agenda tersebut, maka sama saja pemerintah gagal dalam mewujudkan amanat reformasi.
Prajurit TNI sebaiknya fokus pada tugas utama dalam menjaga kedaulatan dan pertahanan Indonesia ketimbang melaksanakan tugas tambahan, apalagi mengisi jabatan sipil.
Pangkat seorang tentara tidak serta merta menjadi jaminan bahwa perwira tinggi dapat menjadi kekuatan penggerak apabila ditempatkan menjadi pejabat tinggi di organisasi sipil.
Sebab, belum tentu mereka memenuhi tiga kompetensi, yakni teknis, manajerial, dan sosial kultural.
Seharusnya hanya orang yang memenuhi persyaratan kompetensi tersebut yang dapat menjabat pimpinan tinggi di kementerian dan lembaga negara, bukan hanya ditentukan oleh pangkat keperwiraan maupun penugasan dari presiden semata.
Kementerian dan lembaga negara didirikan dengan visi dan misi berbeda dengan institusi militer, sehingga standar kompetensi teknis untuk pimpinan tingginya juga pasti berbeda.
Pada dasarnya, penempatan prajurit TNI dalam pemerintahan sipil bukan merupakan solusi tepat dalam menyelesaikan persoalan internal di lembaga militer, terutama jika menyangkut jabatan.
Masalah tersebut sebaiknya diselesaikan dengan perbaikan menyeluruh melalui proses reorganisasi dan restrukturisasi TNI, bukan dengan membuka ruang bagi para tentara untuk memasuki ranah sipil.
Bandul reformasi birokrasi berpotensi bergerak miring.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.