JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat pendidikan Ubaid Matraji menyatakan bahwa menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah tindakan yang salah besar.
Ia tidak setuju dengan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie yang mengklasifikasi pendidikan tinggi sebagai kebutuhan pelengkap (tersier), menyusul tingginya uang pangkal ataupun Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah universitas.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini menilai, pernyataan tersebut mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah.
Baca juga: UKT Meroket padahal APBN Pendidikan Rp 665 T, Anggota Komisi X DPR: Agak Aneh...
"Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar," kata Ubaid dalam siaran pers, Jumat (17/5/2024).
Menurut Ubaid, jika pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, harusnya negara juga bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang masuk program wajib belajar selama 12 tahun.
Nyatanya, sejauh ini, pembiayaan pendidikan dasar hanya dilakukan dengan skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung.
Baca juga: Pernyataan Kemendikbud soal Pendidikan Tinggi Sifatnya Tersier Dinilai Tak Jawab Persoalan UKT Mahal
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, anak tidak sekolah masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen).
Jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai lebih dari 3 juta.
"Ini jumlah yang sangat besar. Faktor utama penyebab anak tidak sekolah ini adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sisdiknas Pasal 34, masih sebatas retorika," ucap Ubaid.
Di jenjang perguruan tinggi, kata Ubaid, lebih banyak lagi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, terjadi karena biaya yang mahal. Terlebih saat ini, Kemendikbud menganggap pendidikan tinggi ini sebagai kebutuhan tersier.
"Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH)," jelas Ubaid.
Lebih lanjut, Ubaid menjelaskan, pemerintah tidak bisa menganggap pendidikan tinggi bersifat tersier. Pemerintah harus menganggap perguruan tinggi sebagai public goods karena menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi.
Pemerintah sebagai pengemban amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai UUD 1945 harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan tersebut.
Baca juga: Soal UKT Mahal, Kemendikbud: Pendidikan Tinggi Bersifat Tersier, Tidak Wajib
Terlebih dalam rangka menuju bangsa yang cerdas dan berdaya saing global, pendidikan hingga sekolah menengah seperti SMA dan SMK saja tidak cukup. Anak-anak Indonesia harus mendapatkan layanan pendidikan tinggi di perguruan tinggi.