PERHELATAN Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 telah usai, seiring dengan penetapan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres.
Meskipun di berbagai kesempatan Prabowo menyatakan tidak akan membentuk tim transisi dari kepemimpinan Presiden Joko Widodo kepada dirinya kelak, tak dapat dipungkiri berbagai persiapan dilakukan menyongsong pelantikan Presiden-Wakil Presiden yang akan digelar Oktober nanti.
Termasuk di antara proses penuangan dan sinkronisasi antara visi-misi keduanya dengan dokumen pembangunan nasional.
Namun demikian, dalam konteks pertahanan dan keamanan, terdapat isu strategis yang agaknya terlupa diangkat oleh Prabowo-Gibran dalam dokumen visi-misinya.
Begitu juga merujuk pada visi-misi kedua pasangan Capres-Cawapres lain yang mengikuti Pilpres 2024, isu tersebut tidak terbahas sempurna, yakni perihal transformasi intelijen negara.
Merujuk pada dokumen visi-misi yang disusun oleh masing-masing Capres dan Cawapres pada Pilpres 2024, tidak ada satupun yang memberikan perhatian spesifik terhadap intelijen negara sebagai bagian integral dari sistem pertahanan dan keamanan negara maupun keberlanjutan reformasinya.
Satu-satunya penyebutan terkait ‘intelijen’ ditemukan dalam visi-misi Capres Anies Baswedan dan Cawapres Muhaimin Iskandar yang lebih mengarah pada pengembangan teknologi pertahanan antariksa. Salah satunya dilakukan melalui pengembangan teknologi ‘intelijen pengamatan dan pengawasan’.
Di luar itu dalam konteks pertahanan dan keamanan, perhatian dan antusiasme lebih besar ditunjukkan oleh para pasangan Capres dan Cawapres pada isu penguatan postur pertahanan, modernisasi alutsista, sampai pada penguatan keamanan siber.
Apabila ditelusuri dari pemberitaan media, tidak nampak komentar substantif dari para pasangan Capres dan Cawapres berkenaan dengan gagasan mereformasi maupun memperkuat peran intelijen negara.
Terkecuali pada beberapa isu sensitif yang menyinggung pemanfaatan data intelijen perihal dinamika dapur partai politik menjelang Pemilu 2024 oleh Presiden Joko Widodo, yang ramai mengemuka pada akhir tahun 2023 lalu.
Khususnya bagi Prabowo Subianto, jika ditelusuri ke belakang, amat disayangkan bahwa tidak ditemukan gambaran visi-misi terkait intelijen negara darinya, baik ketika menjadi Capres pada Pilpres 2014 maupun saat kembali maju pada Pilpres 2019 dan Pilpres 2024 lalu.
Minimnya perhatian terkait isu intelijen negara maupun upaya reformasinya dari para pasangan Capres dan Cawapres pada Pilpres lalu menimbulkan keprihatinan dan memberikan indikasi bahwa mereka kurang memahami permasalahan dan dinamika intelijen negara, baik dari aspek kebijakan, operasional, kelembagaan, maupun perkembangan teknologi yang berkenaan dengan intelijen negara.
Namun di sisi lain, kurangnya perhatian tersebut dapat dipahami sebagai upaya mereka untuk menjaga jarak, tidak melangkah lebih jauh dalam perdebatan tersebut guna bermain aman—dalam arti tidak menyinggung isu intelijen negara dan komunitas intelijen negara, mengingat logika kerja intelijen yang sarat kerahasiaan dan anonimitas.
Padahal, terdapat beberapa tantangan strategis intelijen negara yang mengemuka dan perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kepentingan dan komunitas epistemik—termasuk di dalamnya masyarakat sipil.
Pertama, berkembangnya bentuk dan lanskap ancaman keamanan ke arah dimensi nontradisional sebagaimana dipetakan dalam Global Risk Report 2024 oleh World Economic Forum.