Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Wajah Suram Demokrasi Indonesia

Kompas.com - 23/04/2024, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI salah satu sistem pemerintahan yang dominan di dunia, demokrasi memungkinkan setiap individu mengambil peran atau bagian tentang keputusan yang akan memengaruhi kehidupannya dalam bernegara.

Henry Subiakto dalam bukunya Komunikasi Politik, Media & Demokrasi menjelaskan bahwa kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani “Demos” (khalayak/rakyat) dan “Kratos” (pemerintahan). Artinya sistem pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tetinggi.

Secara prinsip, filsuf Aristoteles mengatakan bahwa demokrasi mengusung kebebasan yang memungkinkan setiap orang berhak berpartisipasi secara aktif untuk terlibat maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah (John L. Esposito).

Demokrasi mengajarkan kita bahwa segala pengambilan keputusan di level negara harus bersifat inklusif, partisipatif, dan akuntabel dengan pengutamaan terhadap hak asasi manusia, kebebasan sipil dan keadilan sosial.

Negara yang menerapkan sistem demokrasi memiliki beberapa ciri, antara lain memiliki perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilu jujur dan adil, keputusan/kebijakan pemerintah yang ditetapkan untuk kepentingan rakyat, dan menerapkan konstitusi yang disusun untuk kepentingan bersama secara adil dan tidak memihak kelompok atau golongan tertentu.

Oleh karena itu, berdasarkan definisi, prinsip, dan karakteristik negara demokrasi, segala hal yang diputuskan oleh negara harus berlandaskan kepentingan rakyat, bukan untuk memuaskan kepentingan kelompok tertentu.

Kontroversi perjalanan demokrasi di Indonesia

Namun dalam penerapannya, perjalanan demokrasi di repubik ini nyatanya tidak lepas dari berbagai kontroversi, sejak merdeka dari belenggu kolonial, Indonesia menganut dan menerapkan sistem demokrasi dalam bernegara.

Nyawa demokrasi tercermin dalam konstitusi yang mengacu kepada UUD 1945. Pertama dalam pembukaan alinea ke-empat disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia disusun dalam Undang-Undang Dasar Negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat.

Kedua, tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Namun sayangnya, perjalanan demokrasi di Indonesia sangat kompleks dan kontroversial dari masa ke masa, khususnya dalam konteks politik elektoral.

Di era Orde Lama, wajah demokrasi mengalami tantangan berat, perselisihan antara Soekarno dan parlemen dalam penyusunan konstitusi dan kenegaraan menyebabkan Presiden pertama RI mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konsititusi dan membentuk dasar bagi penerapan Demokrasi Terpimpin.

Terlepas dari klaimnya yang bertujuan menjaga stabilitas politik dan keutuhan negara, sisi kontroversinya terletak pada penetapan Soekarno sebagai presiden seumur hidup dengan kekuatan tidak terbatas yang tentunya kontradiktif dengan nyawa demokrasi.

Tidak hanya itu, di era Orde Baru demokrasi ditandai dengan penempatan negara sebagai aktor tunggal sehingga terjadi pergeseran model demokrasi yang digantikan dengan feodalisme.

Tujuannya untuk menggabungkan birokrasi negara dan militer dalam satu komando serta menyingkirkan partai massa yang dianggap berpotensi membahayakan stabilitas kekuasaan (Purnaweni, 2004 dalam artikel Demokrasi Dari Masa ke Masa).

Di era ini pemilu terselenggara secara formal-simbolik dan Soeharto secara kontroversial terpilih sebagai presiden dan berhasil melanggengkan kekuasaannya yang militeristik selama 32 tahun hingga pada akhirnya berhasil dilengserkan oleh revolusi mahasiswa pada Mei 1998 (Sugitanata & Majid).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com