TAHAPAN Pemilihan Umum 2024 belum sampai tuntas benar, namun tahapan awal pemilihan kepala daerah secara serentak sudah mulai bergulir.
Jika tidak ada aral melintang, pemungutan suara pilkada di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan berlangsung pada 27 November 2024.
Salah satu isu penting yang selalu mengemuka dari satu pemilihan ke pemilihan berikutnya adalah soal netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Ilustrasi terdekat, sepanjang gelaran Pemilu 2024, masih mencuat soal dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) per 2 April 2024, memperlihatkan 481 ASN yang dilaporkan atas dugaan pelanggaran netralitas dengan sejumlah 264 ASN atau 54,9 persen terbukti melanggar.
Sebagai perbandingan, pada Pilkada Serentak 2020, tercatat ada 2.034 ASN yang dilaporkan melanggar netralitas dengan sejumlah 1.597 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melakukan pelanggaran.
Data per Desember 2023, total ASN di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 4.465.768 orang, dengan sekira 78 persen merupakan ASN di daerah.
Jumlah tersebut masih mungkin bakal bertambah, di mana Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menghitung kebutuhan pengisian ASN-baru mencapai 1,3 juta formasi untuk tahun 2024, baik untuk instansi pusat maupun daerah.
Para ASN tersebut semestinya menjadi bagian dari upaya kita untuk membangun ASN yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lantas, mengapa kasus terkait netralitas ASN dalam pemilu ataupun pilkada tersebut tak pernah surut?
Dalam UU tentang ASN diatur jelas mengenai kewajiban ASN, antara lain menjaga netralitas –sebagaimana termuat pada UU 20/2023 pasal 21 ayat (1) huruf d.
Netralitas dimaknai sebagai setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.
Bahkan jika merujuk pada ketentuan UU ASN yang lama (UU 5/2014), bukan hanya setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu; para istri/suami yang berstatus PNS pun dilarang menggunakan antribut yang mengandung unsur politik serta dilarang menggunakan fasilitas milik negara.
Aturan turunan di bawah undang-undang pun tak kurang-kurangnya menegaskan pentingnya netralitas ASN.
Sebut saja Surat Keputusan Besar (SKB) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan, yang memuat larangan bagi ASN untuk melakukan hal-hal seperti memasang spanduk/baliho/alat peraga bakal calon peserta pemilu; sosialisasi/kampanye media; menghadiri deklarasi/kampanye bakal calon peserta pemilu; membuat posting, comment, share, like, follow dalam grup/akun pemenangan bakal calon peserta pemilu; mem-posting pada media sosial/media lain yang bisa diakses publik; ataupun ikut dalam kegiatan kampanye/sosialisasi bakal calon peserta pemilu.