JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Hukum pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, membeberkan skema nepotisme Presiden Joko Widodo di balik kemenangan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail, mengungkapkan, skema nepotisme pertama Jokowi ialah memastikan putra sulungnya, Gibran, memiliki dasar untuk maju sebagai kontestan Pilpres 2024.
Dasar itu dimulai dengan dimajukannya Gibran sebagai calon wali kota Solo dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dan keikutsertaan adik ipar Jokowi, Anwar Usman yang kala itu menjabat Ketua MK, dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberikan karpet merah untuk Gibran maju pada Pilpres 2024.
"Sampai digunakannya termohon (KPU) untuk menerima pendaftaran Gibran yang mana keduanya dinyatakan melanggar etika," kata Annisa dalam sidang perdana sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Baca juga: Tim Hukum Ganjar-Mahfud: Tak Butuh Negarawan Jika Hakim MK Hanya Urusi Jumlah Suara
Skema nepotisme kedua Jokowi ialah nepotisme yang dilakukan guna menyiapkan jaringan yang diperlukan untuk mengatur jalannya Pilpres 2024.
Praktik skema ini, kata Annisa, dimulai dengan dimajukannya orang-orang dekat Jokowi untuk memegang jabatan penting sehubungan dengan pelaksanaan Pilpres 2024.
"Khususnya ratusan pejabat kepala daerah," ungkapnya.
Sedangkan skema nepotisme ketiga adalah nepotisme yang dilakukan Jokowi untuk memastikan pasangan Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 satu putaran.
Baca juga: Kubu Anies: Malpraktik Pilpres Dimulai dari Tidak Netralnya Jokowi Tunjuk Ketua Pansel KPU-Bawaslu
Menurutnya, skema ini dilakukan Jokowi dengan berbagai cara, mulai dari mengadakan pertemuan dengan berbagai pejabat dan berbagai lini.
Lalu, pertemuan dengan pejabat pemerintah pusat hingga pemerintah desa yang kemudian dikombinasikan dengan politisasi bantuan sosial.
"Sebagaimana terlihat dari aspek waktu pembagian, aspek jumlah yang dibagikan, aspek pembagi bantuan sosial, dan tentunya aspek penerima bantuan sosial," ujar Annisa.
Annisa menggarisbawahi, nepotisme adalah bentuk pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang keberadaannya tidak boleh ditoleransi sama sekali karena berbagai hal.
Salah satunya adalah nepotisme melanggar asas pelaksanaan pemilu, khususnya asas bebas, jujur, dan adil.
Menurutnya, praktik nepotisme justru hanya menghasilkan pemilu yang tidak berpegang pada nilai konstitusi.
"Padahal, pemilu seyogianya berpegang pada nilai konstitusi agar dapat mencerminkan kehendak rakyat," imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.