Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Asrizal Nilardin
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Ketua Umum Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Daerah Indonesia

Bongkar Pasang Ambang Batas Parlemen

Kompas.com - 10/03/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MAHKAMAH Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 membangun argumentasi hukum yang cukup berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya.

Judicial review yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mempersoalkan besaran ambang batas (Parliamentary Treshold) 4 persen bagi partai politik untuk lolos ke parlemen.

Ketentuan itu diatur dalam pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU 7/2017).

Perludem mendalilkan ketentuan pasal 414 ayat 1 UU 7/2017 bertentangan dengan sistem pemilu proporsional. Banyaknya suara rakyat yang terbuang akibat tidak bisa dikonversi ke kursi DPR dianggap telah mereduksi makna dari kedaulatan rakyat.

Dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyangkut pengujian Parliamentary Threshold (PT), MK sepenuhnya menyerahkan perubahan model itu pada pilihan politik hukum pembentuk UU. Seperti putusan Nomor 3/PUU-VII/2009; putusan Nomor 52/PUU-X/2012; putusan Nomor 51/PUU-X/2012; dan putusan Nomor 56/PUU-XI/2012.

Secara konsisten dalam semua putusan itu, MK menolak terlibat jauh pada wilayah teknis perihal pengaturan batasan minimal persentase ideal PT karena merupakan kewenangan DPR dan presiden.

Sedikit berbeda dari putusan terakhir yang memberi kesan upaya soft-koreksi MK atas putusan-putusan sebelumnya.

Dalam putusan terakhir ini, MK tidak saja memberikan rambu-rambu, tetapi juga secara tidak langsung mengoreksi pemberlakuan PT yang dinilai tidak efektif mendorong penyederhanaan partai politik.

Perubahan model ambang batas

Sebelum lebih jauh, kita urai kembali dinamika perubahan model dan perubahan ketentuan besaran ambang batas yang pernah berlaku pascatransisi politik 1999.

Sebelum dikenal istilah ambang batas parlemen (parliamentray threshold), berlaku model ambang batas pemilihan (electoral threshold), sebagai syarat minimal perolehan suara bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

Ketentuan ET yang berlaku sejak pemilu 1999 dan 2004 kemudian disempurnakan dengan model PT yang mulai berlaku pada pemilu 2009.

Pasal 202 ayat 1 UU 10/2008 (sebagai rujukan pemilu DPR 2009) menyebutkan ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional.

Sementara pada Pemilu 2014, berdasarkan Pasal 208 UU 8/2012, persentase ambang batas parlemen dinaikan menjadi sebesar 3,5 persen.

Terakhir ini, ketentuan ambang batas parlemen yang digunakan pada pemilu 2019 dan 2024 merujuk pada pasal 414 ayat 1 UU 7/2017, dengan persentase ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Dalam perkembangan dan pengaturannya, antara ET dan PT merupakan dua hal berbeda. ET adalah syarat perolehan suara yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya.

Sederhanya, ET merupakan proses verifikasi partai politik peserta pemilu untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

Sementara PT adalah syarat minimal perolehan suara partai politik untuk dapat memiliki kursi di DPR.

Dalam UU 7/2017 ketentuan verifikasi diatur dengan ketentuan yang terpisah dari PT. Bahkan masih dimungkinkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya dengan menjalani tahapan verifikasi administratif dan faktual.

Baik electoral threshold (ET) maupun parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya selalu mengalami kenaikan persentase.

Ketentuan ini juga sudah bolak-balik diuji di MK dan semua putusan MK konsisten menegaskan kedudukan ET atau PT sebagai open legal policy pembentuk UU.

Artinya besaran persentase ambang batas tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pilihan hukum DPR dan presiden.

Berdasarkan pertimbangan a quo, pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 hadir sebagai politik hukum dalam mendorong terciptanya sistem multipartai sederhana di Indonesia.

PT dan fraksi alternatif

Semenjak pertama kali diterapkannya PT pada pemilu 2009, dari 38 jumlah partai politik peserta pemilu, hanya 9 partai politik yang lolos ke parlemen.

Pada pemilu 2014, dari 12 partai politik peserta pemilu, tersisa 10 partai politik yang lolos parlemen.

Pemilu 2019, dari 16 partai politik, hanya 9 partai yang lolos ke parlemen. Terakhir pada pemilu 2024, dari 18 partai politik peserta pemilu, berdasarkan hasil rekapitulasi sementara kemungkinan ada 9 partai yang akan lolos ke Senayan.

Berdasarkan perkembangannya tersebut, banyak pihak menilai PT tidak efektif dalam menciptakan penyederhanaan partai politik di parlemen.

Namun hemat saya, persoalan yang mendasar bukan terletak pada PT, melainkan pada persentase yang digunakan belum signifikan mendorong penyederhanaan partai politik.

Penyederhanaan partai politik diharapkan tidak saja dalam komposisi kursinya di parlemen, namun yang paling penting ialah jumlah partai politik peserta pemilu yang perlu disederhanakan.

Penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu tidak berarti membatasi jumlah partai politik di Indonesia.

Penyederhanaan partai dilakukan guna mendorong sistem multipartai sederhana, baik sederhana dari aspek jumlah peserta pemilu hingga jumlah partai politik di parlemen.

Pengurangan partai politik sebagai peserta pemilu tidak bisa dilakukan dengan menentukan jumlah maksimum partai politik yang dapat menjadi peserta pemilu.

Itu sebabnya pilihan yang paling mungkin dan konstitusional dilakukan ialah membatasi jumlah partai politik di parlemen dengan ambang batas perolehan suara sah secara nasional.

Merujuk pada pertimbangan MK, alasan perlunya koreksi terhadap PT karena belum efektif mendorong penyederhanaan partai politik di parlemen dalam tiga kali pemilu terakhir.

Maka masalah mendasarnya terletak pada persentase PT 4 persen yang perlu ditingkatkan. Paling signifikan, misalnya, ke angka 7 persen yang sebelumnya pernah diusulkan partai Nasdem. Atau menjadi 10 persen seperti yang pernah berlaku di Turkiye.

Jika PT menjadi sebesar 7 persen dengan jumlah peserta pemilu 16 partai seperti pemilu 2019, maka dapat tersisa 5-7 partai politik di parlemen.

Namun dalam sisi ekstrem bila dinaikan menjadi 10 persen, maka tersisa 3-4 partai. PT 10 persen mengandung konsekuensi yang cukup berisiko diterapkan dalam pemilu berikutnya bila jumlah partai peserta pemilu berkisar 16 atau lebih partai politik.

Dengan demikian, PT sebesar 7 persen untuk pemilu berikutnya lebih rasional dalam menciptakan penyederhanaan partai politik di parlemen.

Jumlah partai di parlemen yang berkisar 5-7 merupakan jumlah ideal bagi sistem multipartai sederhana.

Perihal banyaknya suara rakyat yang terbuang sebagai konsekuensi logis dari semua sistem pemilu. Hal itu dapat menstimulasi peran partai politik di akar rumput guna mengamankan basis dukungan rakyat. Karena problem akut dalam sistem kepartaian kita ialah minimnya partai yang mengakar dengan rakyat.

Skema lain yang dapat digunakan bersamaan dengan PT sebesar 7 persen ialah dibentuk fraksi baru di parlemen bagi caleg yang mendapatkan dukungan yang signifikan.

Skema fraksi alternatif ini juga diusulkan oleh Grace Natalie, Wakil Dewan Pembina PSI. Penghitungan rumusannya harus dilakukan secara proporsional (perolehan suara dan representasi dapil) dengan persentase minimum suara tertentu yang diperoleh oleh para caleg untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi.

Pembentukan fraksi alternatif ini guna meminimalkan banyaknya suara terbuang. Karena dalam banyak kasus caleg tertentu memperoleh suara individu yang cukup signifikan, namun tidak dapat dikonversi ke kursi DPR lantaran partainya tidak lolos ambang batas parlemen.

Cara ini cukup rasional dan proporsional karena anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan perwakilan partai politik.

Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 tidak memberikan rumusan secara tegas batas minimum/maksimal ambang batas parlemen yang paling proporsional.

Hal itu dapat dipahami karena MK —dalam kebimbangan— tengah menjaga jarak karena ketentuan tersebut merupakan open legal policy.

Kendati dalam putusan a quo MK menegaskan ketentuan ambang batas 4 persen masih konstitusional untuk pemilu 2024.

Namun, MK juga menilai ketentuan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu 2029 dan pemilu DPR berikutnya.

Dengan demikian, MK merekomendasikan perubahan ketentuan ambang batas parlemen kepada pembentuk UU (DPR dan presiden).

Putusan yang mengandung amar konstitusional bersyarat, berbeda dengan putusan yang amarnya inkonstitusional bersyarat.

Dalam putusan inkonstitusional bersyarat, norma tidak lagi berkekuatan hukum tetap bilamana tidak dilakukan perbaikan atau tidak memenuhi syarat tafsir sebagaimana putusan MK.

Sebaliknya, konstitusional bersyarat mendalilkan norma tetap konstitusional atau berkekuatan hukum sepanjang belum dilakukan perubahan atas norma tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 tidak serta-merta mengubah ketentuan ambang batas parlemen yang berlaku —baik untuk pemilu 2029 atau pemilu DPR berikutnya.

Putusan semacam ini tidak lebih sekadar rekomendasi perubahan dari MK kepada pembentuk UU sebagai open legal policy.

Perubahan sepenuhnya menjadi domain kewenangan DPR dan presiden. Entah tetap mempertahankan PT 4 persen atau menaikannya merupakan kebijakan hukum terbuka yang tidak mengurangi kadar konstitusionalitasnya sedikit pun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Sebut Caleg Terpilih Tak Wajib Mundur jika Maju Pilkada, Ketua KPU Dinilai Ingkari Aturan Sendiri

Nasional
Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Minta La Nyalla Kembali Pimpin DPD RI, Fahira Idris: Penguatan DPD RI Idealnya Dipimpin Sosok Pendobrak

Nasional
Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Sejumlah Bantuan Jokowi ke Prabowo Siapkan Pemerintahan ke Depan...

Nasional
Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Amankan World Water Forum 2024 di Bali, Korlantas Kirim 1.532 Polantas Gabungan

Nasional
Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Nasional
“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com