Salin Artikel

Bongkar Pasang Ambang Batas Parlemen

Judicial review yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini mempersoalkan besaran ambang batas (Parliamentary Treshold) 4 persen bagi partai politik untuk lolos ke parlemen.

Ketentuan itu diatur dalam pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU 7/2017).

Perludem mendalilkan ketentuan pasal 414 ayat 1 UU 7/2017 bertentangan dengan sistem pemilu proporsional. Banyaknya suara rakyat yang terbuang akibat tidak bisa dikonversi ke kursi DPR dianggap telah mereduksi makna dari kedaulatan rakyat.

Dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyangkut pengujian Parliamentary Threshold (PT), MK sepenuhnya menyerahkan perubahan model itu pada pilihan politik hukum pembentuk UU. Seperti putusan Nomor 3/PUU-VII/2009; putusan Nomor 52/PUU-X/2012; putusan Nomor 51/PUU-X/2012; dan putusan Nomor 56/PUU-XI/2012.

Secara konsisten dalam semua putusan itu, MK menolak terlibat jauh pada wilayah teknis perihal pengaturan batasan minimal persentase ideal PT karena merupakan kewenangan DPR dan presiden.

Sedikit berbeda dari putusan terakhir yang memberi kesan upaya soft-koreksi MK atas putusan-putusan sebelumnya.

Dalam putusan terakhir ini, MK tidak saja memberikan rambu-rambu, tetapi juga secara tidak langsung mengoreksi pemberlakuan PT yang dinilai tidak efektif mendorong penyederhanaan partai politik.

Perubahan model ambang batas

Sebelum lebih jauh, kita urai kembali dinamika perubahan model dan perubahan ketentuan besaran ambang batas yang pernah berlaku pascatransisi politik 1999.

Sebelum dikenal istilah ambang batas parlemen (parliamentray threshold), berlaku model ambang batas pemilihan (electoral threshold), sebagai syarat minimal perolehan suara bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

Ketentuan ET yang berlaku sejak pemilu 1999 dan 2004 kemudian disempurnakan dengan model PT yang mulai berlaku pada pemilu 2009.

Pasal 202 ayat 1 UU 10/2008 (sebagai rujukan pemilu DPR 2009) menyebutkan ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional.

Sementara pada Pemilu 2014, berdasarkan Pasal 208 UU 8/2012, persentase ambang batas parlemen dinaikan menjadi sebesar 3,5 persen.

Terakhir ini, ketentuan ambang batas parlemen yang digunakan pada pemilu 2019 dan 2024 merujuk pada pasal 414 ayat 1 UU 7/2017, dengan persentase ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Dalam perkembangan dan pengaturannya, antara ET dan PT merupakan dua hal berbeda. ET adalah syarat perolehan suara yang harus dipenuhi partai politik peserta pemilu untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya.

Sederhanya, ET merupakan proses verifikasi partai politik peserta pemilu untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu pada pemilu berikutnya.

Sementara PT adalah syarat minimal perolehan suara partai politik untuk dapat memiliki kursi di DPR.

Dalam UU 7/2017 ketentuan verifikasi diatur dengan ketentuan yang terpisah dari PT. Bahkan masih dimungkinkan bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR untuk dapat menjadi peserta pemilu pada pemilu berikutnya dengan menjalani tahapan verifikasi administratif dan faktual.

Baik electoral threshold (ET) maupun parliamentary threshold (PT) dalam perkembangannya selalu mengalami kenaikan persentase.

Ketentuan ini juga sudah bolak-balik diuji di MK dan semua putusan MK konsisten menegaskan kedudukan ET atau PT sebagai open legal policy pembentuk UU.

Artinya besaran persentase ambang batas tersebut sepenuhnya diserahkan kepada pilihan hukum DPR dan presiden.

Berdasarkan pertimbangan a quo, pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 hadir sebagai politik hukum dalam mendorong terciptanya sistem multipartai sederhana di Indonesia.

PT dan fraksi alternatif

Semenjak pertama kali diterapkannya PT pada pemilu 2009, dari 38 jumlah partai politik peserta pemilu, hanya 9 partai politik yang lolos ke parlemen.

Pada pemilu 2014, dari 12 partai politik peserta pemilu, tersisa 10 partai politik yang lolos parlemen.

Pemilu 2019, dari 16 partai politik, hanya 9 partai yang lolos ke parlemen. Terakhir pada pemilu 2024, dari 18 partai politik peserta pemilu, berdasarkan hasil rekapitulasi sementara kemungkinan ada 9 partai yang akan lolos ke Senayan.

Berdasarkan perkembangannya tersebut, banyak pihak menilai PT tidak efektif dalam menciptakan penyederhanaan partai politik di parlemen.

Namun hemat saya, persoalan yang mendasar bukan terletak pada PT, melainkan pada persentase yang digunakan belum signifikan mendorong penyederhanaan partai politik.

Penyederhanaan partai politik diharapkan tidak saja dalam komposisi kursinya di parlemen, namun yang paling penting ialah jumlah partai politik peserta pemilu yang perlu disederhanakan.

Penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu tidak berarti membatasi jumlah partai politik di Indonesia.

Penyederhanaan partai dilakukan guna mendorong sistem multipartai sederhana, baik sederhana dari aspek jumlah peserta pemilu hingga jumlah partai politik di parlemen.

Pengurangan partai politik sebagai peserta pemilu tidak bisa dilakukan dengan menentukan jumlah maksimum partai politik yang dapat menjadi peserta pemilu.

Itu sebabnya pilihan yang paling mungkin dan konstitusional dilakukan ialah membatasi jumlah partai politik di parlemen dengan ambang batas perolehan suara sah secara nasional.

Merujuk pada pertimbangan MK, alasan perlunya koreksi terhadap PT karena belum efektif mendorong penyederhanaan partai politik di parlemen dalam tiga kali pemilu terakhir.

Maka masalah mendasarnya terletak pada persentase PT 4 persen yang perlu ditingkatkan. Paling signifikan, misalnya, ke angka 7 persen yang sebelumnya pernah diusulkan partai Nasdem. Atau menjadi 10 persen seperti yang pernah berlaku di Turkiye.

Jika PT menjadi sebesar 7 persen dengan jumlah peserta pemilu 16 partai seperti pemilu 2019, maka dapat tersisa 5-7 partai politik di parlemen.

Namun dalam sisi ekstrem bila dinaikan menjadi 10 persen, maka tersisa 3-4 partai. PT 10 persen mengandung konsekuensi yang cukup berisiko diterapkan dalam pemilu berikutnya bila jumlah partai peserta pemilu berkisar 16 atau lebih partai politik.

Dengan demikian, PT sebesar 7 persen untuk pemilu berikutnya lebih rasional dalam menciptakan penyederhanaan partai politik di parlemen.

Jumlah partai di parlemen yang berkisar 5-7 merupakan jumlah ideal bagi sistem multipartai sederhana.

Perihal banyaknya suara rakyat yang terbuang sebagai konsekuensi logis dari semua sistem pemilu. Hal itu dapat menstimulasi peran partai politik di akar rumput guna mengamankan basis dukungan rakyat. Karena problem akut dalam sistem kepartaian kita ialah minimnya partai yang mengakar dengan rakyat.

Skema lain yang dapat digunakan bersamaan dengan PT sebesar 7 persen ialah dibentuk fraksi baru di parlemen bagi caleg yang mendapatkan dukungan yang signifikan.

Skema fraksi alternatif ini juga diusulkan oleh Grace Natalie, Wakil Dewan Pembina PSI. Penghitungan rumusannya harus dilakukan secara proporsional (perolehan suara dan representasi dapil) dengan persentase minimum suara tertentu yang diperoleh oleh para caleg untuk diikutsertakan dalam konversi suara ke kursi.

Pembentukan fraksi alternatif ini guna meminimalkan banyaknya suara terbuang. Karena dalam banyak kasus caleg tertentu memperoleh suara individu yang cukup signifikan, namun tidak dapat dikonversi ke kursi DPR lantaran partainya tidak lolos ambang batas parlemen.

Cara ini cukup rasional dan proporsional karena anggota DPR adalah perwakilan rakyat, bukan perwakilan partai politik.

Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023 tidak memberikan rumusan secara tegas batas minimum/maksimal ambang batas parlemen yang paling proporsional.

Hal itu dapat dipahami karena MK —dalam kebimbangan— tengah menjaga jarak karena ketentuan tersebut merupakan open legal policy.

Kendati dalam putusan a quo MK menegaskan ketentuan ambang batas 4 persen masih konstitusional untuk pemilu 2024.

Namun, MK juga menilai ketentuan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu 2029 dan pemilu DPR berikutnya.

Dengan demikian, MK merekomendasikan perubahan ketentuan ambang batas parlemen kepada pembentuk UU (DPR dan presiden).

Putusan yang mengandung amar konstitusional bersyarat, berbeda dengan putusan yang amarnya inkonstitusional bersyarat.

Dalam putusan inkonstitusional bersyarat, norma tidak lagi berkekuatan hukum tetap bilamana tidak dilakukan perbaikan atau tidak memenuhi syarat tafsir sebagaimana putusan MK.

Sebaliknya, konstitusional bersyarat mendalilkan norma tetap konstitusional atau berkekuatan hukum sepanjang belum dilakukan perubahan atas norma tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 tidak serta-merta mengubah ketentuan ambang batas parlemen yang berlaku —baik untuk pemilu 2029 atau pemilu DPR berikutnya.

Putusan semacam ini tidak lebih sekadar rekomendasi perubahan dari MK kepada pembentuk UU sebagai open legal policy.

Perubahan sepenuhnya menjadi domain kewenangan DPR dan presiden. Entah tetap mempertahankan PT 4 persen atau menaikannya merupakan kebijakan hukum terbuka yang tidak mengurangi kadar konstitusionalitasnya sedikit pun.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/10/07000051/bongkar-pasang-ambang-batas-parlemen

Terkini Lainnya

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Menhub Budi Karya Diminta Jangan Cuma Bicara soal Sekolah Kedinasan Tanggalkan Atribut Militer

Nasional
Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Potret 'Rumah Anyo' Tempat Singgah Para Anak Pejuang Kanker yang Miliki Fasilitas Bak Hotel

Nasional
Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Logo dan Moto Kunjungan Paus Fransiskus Dirilis, Ini Maknanya

Nasional
Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Viral Pengiriman Peti Jenazah Dipungut Bea Masuk, Ini Klarifikasi Bea Cukai

Nasional
Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Pemilihan Calon Pimpinan KPK yang Berintegritas Jadi Kesempatan Jokowi Tinggalkan Warisan Terakhir

Nasional
Saat 'Food Estate' Jegal Kementan Raih 'WTP', Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Saat "Food Estate" Jegal Kementan Raih "WTP", Uang Rp 5 Miliar Jadi Pelicin untuk Auditor BPK

Nasional
Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Usai Prabowo Nyatakan Tak Mau Pemerintahannya Digangggu...

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Kloter Pertama Jemaah Haji Berangkat, Menag: Luruskan Niat Jaga Kesehatan

Nasional
Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Ketua KPU yang Tak Jera: Perlunya Pemberatan Hukuman

Nasional
Nasib Pilkada

Nasib Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke