Kepercayaan diri itulah yang membuat Presiden Jokowi berani memberikan bintang kehormatan kepada Jenderal (Hor) Prabowo Subianto.
Prabowo pernah diberbentikan dari dinas militer oleh Dewan Kehormatan Perwira. Namun, putusan DKP itu tak ditindaklanjuti dengan persidangan Mahkamah Militer.
Kini, jenderal-jenderal yang mengadili Prabowo dalam DKP sebagian besar menjadi pendukung Prabowo. Itulah kenyataan politik kontemporer. Politik tanpa prinsip. Politik tanpa nilai.
Tiada lawan dan kawan abadi selain kepentingan para elite. Sementara korban tetaplah korban yang masih harus terus berjuang.
Banyak kritik pada Presiden Jokowi. Namun, the show must go on. Kritik itu terlalu kecil dibandingkan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran yang didukung Presiden Jokowi.
Kritik guru besar dan dunia kampus dituding partisan. Pemberian jenderal kehormatan itu melukai korban pelanggaran HAM masa lalu, seperti Sumarsih yang telah berjuang 17 tahun, memperjuangkan keadilan untuk anaknya, Norma Imawan dan keluarga korban lainnya.
Sumarsih layak dinobatkan sebagai Pejuang Kehormatan untuk melawan lupa.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyebut Presiden Jokowi akan diberi peran dalam pemerintahan baru. Belum jelas peran apa yang akan diberikan kepada Presiden Jokowi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Jika tak ada undang-undang baru atau undang-undang yang direvisi atau undang-undang yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi, posisi yang masuk akal adalah Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang saat ini diduduki Jenderal (Purn) Wiranto.
Dengan kekuatan politik begitu besar yang dimiliki Presiden Jokowi, selayaknya Presiden Jokowi meninggalkan legacy kepada bangsa ini, selain pembangunan infrastruktur yang sudah nyata dirasakan rakyat.
Saat Menkominfo Budi Arie Setiadi berkunjung ke Kompas, saya sempat mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk mendorong RUU Lembaga Kepresidenan.
Dalam UU Kepresidenan itu posisi presiden-presiden Indonesia bisa ditempatkan semestinya, termasuk Presiden Jokowi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dalam UU Lembaga Kepresidenan bisa dibedakan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, penguasa tertinggi atas Angkatan, sebagai ketua umum partai politik, sebagai kepala keluarga.
Sejak Indonesia merdeka, bangsa ini tak pernah memiliki UU Kepresidenan. Padahal, semua cabang kekuasaan ada undang-undang. Mengapa Lembaga Kepresidenan tidak ada?
Saatnya, dengan kekuatan politik yang masih sepenuhnya dikontrol, Presiden Jokowi bisa mendorong RUU Lembaga Kepresidenan sebagai legacy-nya untuk bangsa. Sekaligus untuk menjawab berbagai tudingan bahwa Presiden Jokowi sedang melemahkan demokrasi, melemahkan KPK, dan melumpuhkan kekuasaan yudikatif.