JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa jadwal Pilkada Serentak harus mengacu pada jadwal yang telah ditetapkan undang-undang (UU).
UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pada Pasal 201, menyebut secara spesifik bahwa Pilkada 2024 diselenggarakan pada bulan November nanti.
"Artinya, mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak," ujar hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh saat membacakan pertimbangan putusan perkara nomor 12/PUU-XXII/2024, Kamis (29/2/2024).
Perkara ini sebetulnya tidak secara spesifik menggugat jadwal pelaksanaan pilkada.
Dua mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi pemohon, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi, meminta MK mensyaratkan agar calon anggota legislatif (caleg) terpilih hasil pemilihan legislatif (pileg) pada Februari 2024 harus menyatakan mundur jika mau maju pada Pilkada 2024 di bulan November.
Baca juga: KPU Buka Pendaftaran Lembaga Pemantau Pilkada 2024 Mulai Hari Ini
MK menolak gugatan itu dan berpegang teguh pada ketentuan yang sudah ada bahwa yang wajib mundur adalah anggota legislatif, bukan caleg terpilih.
Caleg terpilih hasil pileg bulan Februari akan dilantik pada Oktober 2024, sebulan sebelum pelaksanaan Pilkada 2024.
Namun, pencalonan kepala daerah akan dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sekitar pertengahan tahun, ketika para caleg terpilih belum dilantik.
Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa linimasa tahapan Pilkada 2024 ini lah yang menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah bahwa caleg terpilih tidak perlu mundur.
"Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten," kata Daniel.
Baca juga: MK: Pilkada Serentak 27 November 2024 Harus Dilakukan Sesuai Jadwal
Kendati bukan bagian dari putusan MK, tetapi pernyataan di atas menegaskan sikap Mahkamah terhadap polemik jadwal Pilkada 2024.
Pemerintah dan DPR, yang menetapkan jadwal Pilkada 2024 pada bulan November lewat UU Pilkada, kini berubah sikap mewacanakan percepatan pilkada.
Padahal, mereka dan lembaga penyelenggara pemilu sudah bersepakat bahwa pemungutan suara akan digelar 27 November 2024.
Manuver penguasa tercium medio Agustus 2023. Berminggu-minggu, isu percepatan pilkada terdengar santer di kalangan pers dan dikonfirmasi sejumlah sumber di lingkaran Istana serta lembaga penyelenggara pemilu.
Pada 20 September 2023, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian maju menghadap Komisi II DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat. Dia menyampaikan gagasan percepatan Pilkada 2024 ke bulan September melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Baca juga: 13 Kepala Daerah Minta MK Atur Ulang Jadwal Pilkada, Sebagian Besar Ingin pada 2025
Padahal, secara praktis, tidak ada kegentingan memaksa yang menjadi prasyarat terbitnya sebuah perppu dalam mempercepat pilkada serentak.
Tito berdalih, percepatan pilkada diperlukan demi tercapainya pelantikan presiden dan kepala daerah pada tahun yang sama, sehingga dibayangkan terjadi perbaikan tata kelola pemerintahan dan kesinambungan program nasional-daerah.
Usul ini dinilai politis oleh para pengamat kepemiluan. Pasalnya, mempercepat pilkada ke September sama saja mengusahakan agar para calon kepala daerah terpilih masih di rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang baru turun tahta Oktober 2024.
Tak hanya itu, percepatan pilkada juga berakibat pada tumpang-tindihnya tugas lembaga penyelenggara pemilu, mulai dari KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang dikhawatirkan bakal mengurangi kualitas penyelenggaraan pemilu.
Sebab, jika pilkada maju, maka tahapan persiapan pilkada akan bentrok dengan kerja-kerja pemilu nasional yang masih berjalan setelah 14 Februari 2024. Ini juga menjadi perhatian MK dalam pertimbangan putusan di atas.
Baca juga: PSI Belum Bahas Arah Dukungan pada Pilkada DKI, Masih Kawal Suara pada Pileg 2024
Berkaitan hal ini, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, malah sempat mengutarakan salah satu opsi bahwa pilkada serentak perlu ditunda, memperhatikan faktor eskalasi konflik dan ketersediaan aparat keamanan.
Belakangan, usulan percepatan pilkada via perppu menguap. Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga Ketua Umum Relawan Pro Jokowi, Budi Arie Setiadi menyebut bahwa opsi itu tidak diambil guna mencegah prasangka negatif terhadap eksekutif.
Budi Arie mengatakan, percepatan jadwal pilkada, seandainya perlu akan ditempuh lewat proses revisi undang-undang secara terbatas.
Belakangan, DPR mengaku siap membahas revisi UU Pilkada secara kilat guna mengakomodir percepatan pilkada.
Dewan disebut tinggal menunggu surat presiden berisi persetujuan pembahasan karena RUU Pilkada telah diusulkan kepada pemerintah.
Baca juga: Golkar Beri Mandat Pilkada DKI ke 2 Orang, Airlangga Jelaskan Alasannya
Salah satu pertimbangan pilkada diusulkan dipercepat adalah menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Dari sembilan fraksi di DPR, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrat setuju dengan catatan.
Rahmat Bagja menegaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu perlu diundang untuk membicarakan ini.
"Kasihan teman-teman penyelenggara," kata Bagja di kantor KPU RI.
Baca juga: MK: Pilkada Serentak 27 November 2024 Harus Dilakukan Sesuai Jadwal
Tarik-ulur jadwal Pilkada 2024 tak berhenti di situ. Sebagian pihak malah meminta agar pilkada mundur ke 2025.
Lembaga swadaya masyarakat, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), misalnya. Dalam gugatannya ke MK, mereka meminta Mahkamah memberi pemaknaan baru agar pilkada serentak digelar Maret 2025 dan pelantikan kepala daerah terpilih paling lambat Juli 2025.
Tak hanya soal tumpang-tindihnya kerja KPU dkk yang berdampak pada mutu pemilu, penyeragaman jadwal pilkada ke 2025 juga dianggap lebih memperkuat sistem presidensial dan pembangunan pusat-daerah.
Perludem mempersoalkan, tak ada kepastian hukum hingga kini mengenai kapan kepala daerah terpilih hasil pilkada November 2024 akan dilantik.
Baca juga: 13 Kepala Daerah Minta MK Atur Ulang Jadwal Pilkada, Sebagian Besar Ingin pada 2025
Berdasarkan perkiraan, dengan memperhitungkan tahapan rekapitulasi penghitungan suara dan sengketa pilkada, kepala daerah terpilih baru bisa dilantik pada Februari-Maret 2025.
"Jika kepala daerah baru dilantik pada bulan Februari atau Maret 2025, kepala daerah terpilih mesti bersabar dan tidak bisa berbuat banyak untuk menjalankan programnya karena mesti menunggu hingga Agustus atau September 2025 untuk bisa memasukkan program yang sudah dijanjikan di dalam siklus APBD-Perubahan," tulis Perludem dalam gugatannya.
Sementara itu, 13 kepala daerah juga menggugat hal sejenis ke MK.
Mereka adalah Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah).
Fokus mereka adalah kerugian konstitusional yang disebabkan oleh terpangkasnya masa jabatan.
Sebab, mereka terpilih hasil Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah dan baru dilantik pada 2021. Pilkada 2024 membuat mereka menjabat tidak genap lima tahun.
Oleh karena itu, mereka meminta supaya pilkada untuk 270 daerah itu baru digelar pada Desember 2025.
Sementara itu, pilkada yang bakal dihelat pada 2024, diminta khusus diperuntukkan buat daerah yang masa jabatan kepala daerahnya sudah habis pada 2022-2023.
Baca juga: MK: Pilkada Serentak 27 November 2024 Harus Dilakukan Sesuai Jadwal
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.