Pada 3 Januari 2019, keduanya dibebaskan setelah mendapat cuti bersyarat dari Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusa.
Setelah 2014, hoaks seolah menjadi tren di jagat digital Indonesia. Sumber utamanya adalah situs-situs online yang amat mudah dibuat. Siapa pun bisa membuat situs apapun.
Situs-situs berisi hoaks pun menjamur. Motifinya tidak melulu kepentingan politik, tapi kepentingan ekonomi semata. Cari uang.
Ada dua situs populer yang jadi perbincangan publik tahun 2016, yaitu pos-metro.com dan nusanews.com. Auktor intelektualis di balik dua situs itu adalah dua mahasiswa asal Sumatera.
Inisiator komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho memperkirakan, penghasilan masing-masing situs itu mencapai Rp 600 juta-Rp 700 juta per tahun. Mafindo menganalisis trafik dan potensi iklan yang didapat dari AdSense.
Begitu menjanjikannya pendapatan dari situs hoaks, bahkan ada pegawai negeri sipil (PNS) memilih keluar sebagai PNS dan menekuni bisnis kabar bohong.
Baca juga: Dua Situs Penyebar Hoax di Indonesia
Di belahan dunia lain, pada tahun yang sama, hoaks memang menjadi ladang uang yang subur. Pilpres AS tahun 2016 pun banjir dengan situs hoaks bermotif ekonomi.
Pelakunya bukan warga negara AS, tapi mencari keuntungan di celah-celah sentimen masyarakat AS yang terbelah antara kubu Donald Trump dan Hillary Clinton.
Baca juga: Remaja Raup Rp 2,6 Miliar dari Bikin Berita Hoax Pilpres AS
Salah satunya yang terungkap adalah Victor, remaja laki-laki berumur 16 tahun dari Veles, kota kecil di Makedonia. Ia bersama ratusan remaja lainnya berperan sebagai editor konten hoaks untuk situs-situs yang mereka dirikan.
Penelusuran Channel 4 menyebutkan, satu orang bisa meraup pendapatan sekitar Rp 2,6 miliar dari pekerjaan ini. Victor mengatakan, berita-berita palsu pro-Trump begitu diburu di internet.
Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mencatat, setidaknya ada 800.000 situs hoaks di Indonesia pada 2016. Itu baru jumlah situs. Belum jumlah akun media sosial yang menjadi jejaring penyebarannya.
Baca juga: Remaja Rentan Jadi Penyebar Berita Hoax
Jejaring akun media sosial penyebar hoaks baru terbongkar pada tahun 2017. Namanya adalah Seracen. Gerombolan ini memiliki ribuan akun ternak media sosial.
Mereka memproduksi aneka konten sesat pesanan yang menyulut kebencian terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kasus Saracen menunjukkan bahwa hoaks diproduksi secara terorganisir dan sistematis.
Gerombolan Saracen aktif terlibat dalam momentum pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Mereka membuat konten berdasarkan pesanan pihak-pihak tertentu untuk menyerang lawan politik.
Mereka bahkan telah ada sejak pilpres 2014. Mereka menawarkan tarif Rp 72 juta kepada pihak-pihak yang ingin menggunakan jasa mereka. Medium favorit penyebaran konten adalah Facebook.
Lima anggotanya, yakni Rofi Yatsman, Faizal Tonong, Sri Rahayu, Harsono Abdullah, dan Asmadewi, divonis bersalah karena menyebarkan ujaran kebencian dan kasus SARA dengan hukuman bervariasi selama enam bulan sampai 2,5 tahun penjara.
Pimpinannya, Jasriadi, divonis 10 bulan penjara karena terbukti melakukan akses ilegal media sosial.
Setelah Saracen, polisi juga membongkar jaringan kelompok The Family Muslim Cyber Army (MCA). Komplotan ini memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.
MCA Indonesia menginduk ke United MCA, jaringan internasional yang berhasil memecah belah Suriah dan Irak.
Motif MCA berbeda dengan Saracen. Jika Saracen motifnya ekonomi, MCA motifnya adalah ideologi tertentu. Mereka ingin mendegradasi negara dengan memecah belah masyarakat dengan isu kebangkitan PKI, penganiayaan ulama, dan penghinaan kepala negara.
Dalam kancah berita bohong, berbagai kepentingan (politik, ekonomi, ideologi) berkelindan satu sama lain.
Baca juga: The Family MCA dan Saracen, Bisnis Hoaks Serupa tetapi Tak Sama
Sedikit meluaskan pembahasan, media sosial merupakan lapangan pertempuran baru global di era digital. Jaringan sistematis dan terorganisir bukan hanya milik kelompok Seracen atau MCA, tapi juga negara.
Manipulasi informasi dilakukan tidak hanya untuk menjatuhkan pihak yang dianggap lawan atau sebaliknya memoles citra seseorang, tetapi juga menyangkut bisnis jutaan dollar AS.
Mengutip laporan Oxford Internet Institute (OII) yang berjudul "Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation", selama tahun 2020, keberadaan pasukan siber semakin meningkat.
Pada 2019 diidentifikasi ada 70 negara yang memiliki pasukan siber. Pada 2020, jumlahnya meningkat. Ada 81 negara termasuk Indonesia yang memiliki pasukan siber.
Pasukan siber menjadi alat pertahanan baru, tidak mengenal bentuk rezim suatu negara, apakah demokrasi atau otoriter. Mereka bertugas memanipulasi informasi di media sosial.
"Kami menemukan bukti, 81 negara menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi tentang politik," tulis laporan tersebut.