Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Afif
Hakim PTUN Palembang

Lulusan Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Urgensi Pengakuan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Kompas.com - 30/01/2024, 11:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERBAGAI peraturan yang mengancam keberadaan masyarakat hukum adat diterbitkan Pemerintah. Mulai dari regulasi percepatan pemberian sertipikat hak milik di atas tanah (adat) seperti instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah Republik Indonesia sampai yang terbaru perpres nomor Perpres Nomor 78 Tahun 2023.

Secara normatif, segala upaya yang dilakukan pemerintah adalah ancaman nyata terhadap masyarakat hukum adat.

Alih-alih melindungi, regulasi yang lahir di era pemeritahan Presiden Joko Widodo tersebut justru berpotensi menghapus masyarakat hukum adat dari tanah leluhurnya.

Dalam hal penerbitan sertipikat hak milik di atas tanah adat, hal ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini akan memberikan kepastian hak milik pada masyarakat, tapi di sisi yang lain akan menyebabkan keberadaan masyarakat hukum adat tergerus, bahkan terhapuskan dari tanah leluhurnya.

Patut disadari, pemberian sertipikat bukanlah wujud penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Pemberian sertipikat hak milik atas tanah adat hanya menunjukkan dominasi negara atas wilayah masyarakat adat.

Hal yang seharusnya dihindari, sebab secara konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat diakui, yang memberikan konsekuensi kepada negara untuk menghindari upaya-upaya melamahkan keberadaanya.

Sementara pemberian sertipikat atas tanah adat hanya akan menjadikannya objek komersialisasi yang seharusnya tidak dikenal dalam konteks masyarakat hukum adat.

Negara terkesan hanya menjalankan proses legalisasi aset dengan cara menyederhanakan hubungan masyarakat dengan tanahnya.

Pemerintah seakan menilai hubungan masyarakat hukum adat dengan tanahnya hanya sebatas hubungan ekonomi. Padahal, hubungan masyarakat adat dengan tanah juga termasuk hubungan sosial, ekologi, bahkan religi.

Menilik catatan historis, keberadaan masyarakat hukum adat erat kaitannya dengan tanah adat sebagai tempat tinggal. Tanah adat dijaga secara turun temurun dan tidak menjadi objek komersialisasi, melainkan menjadi penyangga silahturahmi antarsuku.

Selanjutnya, adanya Perpres 78/2023 juga menjadi ancaman terdekat. Proyek yang datang secara tiba-tiba seringkali merampas tanah masyarakat hukum adat secara paksa.

Keberadaan masyarakat hukum adat yang sudah memiliki ikatan religius dengan tanahnya justru dipaksa pergi.

Memang dalam hal pembebasan lahan, masyarakat direlokasi ketempat lain dan diberikan ganti rugi. Namun dalam konteks perlindungan terhadap masyarakat hukum adat pola pikir ini keliru.

Relokasi dan pemberian ganti rugi yang diterima oleh masyarakat tidak akan pernah sebanding dengan ikatan batin masyakat dengan tanah leluhurnya yang harus dikorbankan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com