DOKTER Mesty Ariotedjo, seorang profesional, ahli kesehatan masyarakat yang sangat menaruh perhatian pada tumbuh kembang anak, tiba-tiba berkomentar soal politik melalui akun X-nya, seperti berikut (dikutip utuh):
“Aku ga pernah ngomongin politik, tapi kayaknya dari segi dokter anak bisa berkomentar tentang pentingnya ajarkan regulasi emosi pada anak, karena studinya orang yang mampu meregulasi emosi dapat memecahkan masalah dengan lebih baik”.
“Aku jujur takut, memiliki pemimpin negara yang belum mampu meregulasi emosi, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, seperti gobl*k, ndasmu…apalagi perkara HAM yang belum usai…"
Mencoba memahami istilah teknis kedokteran, saya menduga yang dimaksud dengan “meregulasi emosi” tentu bukan mengeluarkan peraturan pemerintah atau profesi kedokteran untuk mengatur emosi seseorang.
Yang dimaksud meregulasi emosi dapat diduga sebagai suatu mekanisme internal dalam diri seseorang untuk menata, mengendalikan, dan mengelola suasana hatinya dalam merespons tekanan dan berbagai masalah yang dihadapinya.
Hari-hari ini, memang publik sedang mendapatkan kesempatan besar untuk lebih mengenal para calon pemimpin bangsa yang sedang berlaga melalui Pemilu 2024.
Komunikasi publik melalui berbagai forum debat, forum-forum dialog yang digelar oleh berbagai organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan, atau sejumlah momen publik lainnya; adalah kesempatan besar untuk mengenal lebih dekat visi, nilai-nilai, karakter, dan perilaku mereka.
Bagi para kontestan juga kesempatan emas untuk unjuk pamor, siapa yang paling berkualitas dalam penguasaan substansi dan tata cara berinteraksi dengan publik, sekaligus menjadi batu uji siapa yang paling layak dipercaya publik untuk memimpin negara besar bernama Indonesia.
Melihat proses debat beberapa kali, dan juga memperhatikan forum-forum ikutan pascadebat, kita dapat memahami kecemasan dr. Mesty Ariotedjo; terlebih bila dikaitkan bahwa seluruh pilihan kata, dan tindak tanduk pemimpin negara akan menjadi rujukan bagi seluruh rakyat.
Banyak muncul kejadian yang cenderung mengumbar emosi, menggunakan kata-kata yang tak patut diucapkan di panggung publik, dan sikap-sikap yang tak menampilkan keluhuran seorang pemimpin; tengah ditampilkan oleh kandidat tertentu.
Yang lebih memprihatinkan, sikap-sikap dan tindak tanduk itu ditepuktangani dengan gegap gempita oleh para pendukungnya, yang di antaranya adalah para petinggi negara yang masih menjabat.
Sebagai seorang dokter yang memahami benar mekanisme dan proses tumbuh kembang anak, kecemasan dokter Mesty sangat beralasan.
Ia pasti membayangkan referensi apa yang akan didapat oleh anak-anak generasi kita nanti, bila yang tampil di panggung kepemimpinan negara adalah pilihan kata (diksi), bahasa tubuh, sikap, dan tindak tanduk yang mencerminkan ketidakmampuan sang pemimpin dalam mengontrol emosinya.
Tampaknya, kecemasan ini meluas, tak terbatas dirasakan oleh seorang dokter. Banyak sekali komentar tokoh-tokoh nasional, baik politisi, psikolog profesional, ahli komunikasi politik, para pendidik, hingga tokoh-tokoh agama yang mengemukakan kekhawatiran dengan nada serupa.
Seorang tokoh senior, sampai-sampai memberi semacam peringatan: ”Kalau debat antar kandidat saja marah-marah terus, bagaimana nanti kalau berdebat dengan pemimpin negara lain?”
Siapaun yang terpilih menjadi pemimpin bangsa nanti, tentu rakyatlah yang akan menentukan. Siapapun itu, haruslah kita sadari sepenuhnya bahwa presiden juga manusia, ia punya rasa dan punya hati, yang tak bisa lepas dari naik turunnya kadar emosi.
Terlebih tugas-tugas dan kewajiban seorang presiden sangatlah lekat dengan tekanan, baik tekanan fisik, pikiran, dan mental.
Itulah sebabnya akademisi Reza Indragiri dari Universitas Indonesia menekankan perlunya seorang calon presiden memiliki kapasitas yang disebut executive functionality.